Jumat, 06 September 2013

The Chronicles Of X7 Super Heroes Season 2 Episode 2 The Power Of Adam Boyke Zombie

setelah satu tahun mengembangkan ilmu jombi, lintangpun berhasil membuat ramuan yang sempurna untuk membuat seseorang berubah menjadi jombi, ramuannya berbentuk bulat berupa cairan berwarna hijau dan jika terkena cairannya sebuah mahluk hidup bisa berubah menjadi jombi

*markas persembunyian bawah tanah didalam goa dengan sungai racun

lintang : akhirnya dam gua berhasil membuat ramuan untuk membuat orang menjadi zombie
adam : selamat bravo hebat bagus congratulation
lintang : nih dam buat lu, coba aja ke tikus pasti langsung berubah jadi jombie dam
adam : yoman thanks tang

*entah darimana bisikan jahat yang lebih jahat datang ke adam, adampun melempar ramuannya ke arah tikus percobaan yang berada di lab, seketika tikus itu langsung berubah menjadi tikus jombi yang tidak bisa berbicara dan memiliki pikiran tikus

lintang : dengan ramuan ini kita bisa menghancurkan dunia dam kalau memakainya ga bener
adam : terima kasih atas penjelasannya tang dan semoga lu bisa diterima di"alayizwarneeyz" lagi

*adampun pergi kedunia yang keras untuk membalas dendam kepada dede tulang besi dan raka mahoman beberapa hari kemudian setelah kota bekbekasi telah dilanda oleh pasukan jombi, adampun bertemu lagi dengan dede dan raka

*suasana hening

dede dan raka : .............
adam : ...............
raka : yah de adelu dateng
dede : ........
adam : oi de oi rak
raka : oi dam pakabar
adam : baek
dede : ...........
adam : de munchen kalah sama inter
dede : .............

*setelah beberapa jam ngomongin yang ga ada akhir akhirnya adampun menyerah

adam : de gua nyerah de
dede : nyerah knp
adam : abis gua udah menginvasi bekbekasi pake jombi lu berdua biasa biasa aja yaudah gua nyerah
raka : weeee adam nyerah kita menang
dede : dam mcd yok
adam : ayo gua lagi banyak duit nih
raka : asyik banyak duit

*lemot muncul entah dari mana

lemot : ngapain peleh pake duit kan bekbekasi lagi dilanda jombi
dede : *kaget hah
raka : *kaget anjir
adam : *kaget lu dateng dari mana mot ?
lemot : gua ada dimana mana

*The Phytagoras ft lemot pun pergi ke mcd dan makan gratis

THE END

*bonus
sayang sekali untuk lintang masih tidak diterima di alayizwarneeyz dan menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerusakan yang diperbuat oleh para jombi, lintangpun dipenjara selama 3 hari atas perbuatannya total kerusakan 1 mcd, 2 supermarket, beberapa mall dijarah oleh jombi, 2 rumah orang tidak dikenal kacanya dihancurkan dan sebuah pos satpam hancur

The Chronicles Of X7 Super Heroes Season 2 Episode 1 Adam Boyke The Zombie Emperor

Pada suatu hari The Phytagoras sedang berkeliling melihat warna kelam didunia ini mereka datang ke suatu danau disaat matahari ingin menghapus sinarnya lalu adampun bercerita tentang zombie

adam : bagaimana menurut kalian tentang zombie ?
dede : wkwkwkwkwkw
raka : danta ludam itu mah cuma film wkwkwkw
adam : eh ga ada yang mustahil ya di dunia ini !
dede : jangan aneh aneh napa dam lu udah aneh
raka : maksud lu apa sih dam
adam : blablablablablablablablablablablablablablablablablablablablablabla - bercerita tentang zombie

dede dan rakapun berbeda pendapat setelah mendengar cerita itu merekapun geram terhadap adam yang sudah berkali kali menyusahkan mereka adampun dimaki maki dan keluar dari phytagoras dan adampun bersumpah serapah

adam : brengsek kalian semua kalian membuang imajinasiku kubuktikan pada kalian bahwa zombie itu nyata
dede : sampe batman buka toko laundry kiloan ga akan bisa dam
raka : goceng ya kalo ga ada

adam pun geram dan bereksperimen dengan manusia asli diapun meminta pendapat dari ahli biokimia
yaitu prof. Dr. Lintang MCK yang sudah menhakciptakan beberapa penemuannya lintang pernah berteman dengan dodysaurus yang sering menjadi penasehat saat adam di phytagoras

adam : woi tang pakabar
lintang : baek lu
adam : baek
lintang : lu mau ngapain dam tumben
adam : gua menemukan cairan mutasi biologis yang bisa membuat seseorang menjadi zombie dan gua sudah mencobanya ke ayam namun cairan itu hanya bertahan beberapa jam saja dan belum sempurna aku memintamu yang ahli biokimia untuk menyempurnakannya

lintangpun terkaget kaget sampai sarafnya terguncang darah hitamnya yang kejam pun mngalir

lintang : wah lu hebat dam bisa menemukan sesuatu yang  dianggao mustahil bagi ilmuwan lain
adam : gua ada motivasi tersendiri
lintang : object penemuan mu sebenarnya berbahaya dan bisa membuat zombie outbreak namun aku tertarik pada penemuanmu kau taukan aku dibuang dari perkempulan ilmuwan *alayizwarneeyz* karna aku berniat membuat obat yang bisa melawan arus waktu agar manusia bisa menjadi dewa dan aku berniat untuk membantumu agar aku diakui mereka lagi
adam : *ngasih obat* kau sempurnakan obat ini. obat ini mengandung apotosis yang bisa mengaktifkan apotoxin dalam sel agar sel itu membunuh dirinya sendiri namun masih hidup karena sinyal yang mengotrolnya selain itu obat ini juga mengaktifkan termoezae yang dapat meng-multifikasi sel secara iminukompeten
lintang : WOW GENIUS aku akan menyempurnakanya


dijalan dede ketemu lemot
lemot : booongg
dede : .....

to be continue

Sabtu, 31 Agustus 2013

16 filosofi Bayern Munchen

Kali Ini, Saya Akan Share Tentang Filosofi Klub Favorit Saya, Yaitu FC Bayern Munich. Mungkin Kalo Saya Perhatikan Semua Klub Bola Mempunyai Filosofi, Entah Itu Dari Klub Papan Atas, Papan Bawah, Hingga Papan Samping : P
Nah, Berhubung Saya Juga Masih Awam Sama FC Bayern Saya Mencoba Mengambil Datanya Dari Grup FC Bayern Supporter Club :)

Yuk Mari Kita Bahas Filosofinya,
FC Bayern Mempunyai Suatu Filosofi Yaitu " Mia San Mia ", Filosofi " Mia San Mia " Telah Ada Di Klub Bayern Sejak Lama Namun, Filosofi " Mia San Mia " Ini Baru Di Bocorkan Di Publik Pada 27 Februari 2010 Sebelumnya Filosofi Ini Bersifat Rahasia. Arti Dari Filosofi " Mia San Mia " Sendiri Berarti " Kita Adalah Kita ". Namun Banyak Yang Beranggapan Bahwa Pada Filosofi Ini Memiliki Suatu Kesombongan. Kalau Menurut Saya Sendiri Sih Enggak, Karena Berdasarkan Artinya, " Mia San Mia " Itu Kan Artinya Kita Adalah Kita Jadi Pada Dasarnya Bayern Ya Bayern Jadi Bayern Pastinya Harus Berbeda Dan Menurut Saya Arti Dari " Mia San Mia " Itu Sendiri Sebenarnya Mengandung Kata Penyemangat Atau Motivasi Sendiri Di Dalam Kubu FC Bayern ( Menurut Saya Lho Yah :D ).


Pada Dasarnya, Di Klub Bayern Munich, Terdapat 16 Prinsip Dasar Yang Mungkin Harus Di Pegang Atau Di Taati Oleh Semua Yang Berada Di Bawah Nama FC Bayern Munchen (Termasuk Fans Sendiri)
Berikut Ini Adalah 16 Prinsip Dasar Dari Filosofi " Mia San Mia "

1. Mia San Innovation
Mia San Innovation Berarti Semua Orang Harus Belajar Meningkatkan Kinerja Dan Belajar Terus Menerus, Sebagai Salah Satu Klub Terbaik Harus Mampu Menginovasi / Menjadi Panutan Klub-Klub Lain

2. Mia San Ein Verein
Bayern Adalah Satu Tim Yang Sama, Sejak Pertama Kali Didirikan Bayern Selalu Melandaskan Nilai-Nilai Yang Sama

3. Mia San Botschafter
Semua Orang Punya Tanggung Jawab Untuk Berkelakuan Baik Demi Menjaga Citra Klub Baik Saat Di Dalam Tim, Maupun Di Kesehariannya ( Hebat Yah :D )

4. Mia San Vorbilder
Ini Mungkin Yang Paling Saya Sukai :) Semua Harus Bisa Menjadi Teladan Bagi Para Remaja Dan Anak Muda, Baik Di Dalam Maupun Di Luar Lapangan.

5. Mia San Tradition
Semua Orang Yang Berada Di Bawah Naungan FC Bayern ( Termasuk Fans Sendiri ) Harus Bangga Terhadap Tradisi Yang Telah Di Torehkan Sepanjang Sejarah

6. Mia San Selbtvertrauen
Semua Yang Berada Di Bawah Nama Bayern ( Termasuk Para Fans ) Harus Yakin Untuk Memenangkan Laga, Di Wujudkan Dengan Selalu Menyerang ( Untuk Pemain ) Dan Mengambil Inisiatif Permainan.

7. Mia San Grenzenlos
Semua Orang Wajib Menghargai Keberagaman Yang Menjadi Akar Terbentuknya Nilai-Nilai Bayern. ( Kayak Bhinneka Tunggal Ika Ini Yah? : D )

8. Mia San Fussball
Menyajikan Sepakbola Indah Entah Itu Dari Tactic, Strategi, Ataupun Lainnya Agar Bisa Di Nikmati Semua Kalangan Pencinta Sepakbola.

9. Mia San Respekt
Status Semua Orang Di Klub Sama, Tidak Ada Yang Di Beda-Bedakan. Semua Orang Harus Menunjukkan Rasa Hormat Yang Besar Satu Sama Lain.

10. Mia San Freude
Prinsip Ini Adalah Prinsip Yang Selalu Mengajarkan Kita Untuk Ikhlas :)
Karena Dalam Prinsip Ini Kita Semua Harus Menikmati Semua Pekerjaan Yang Di Lakukan Dengan Menjunjung Tinggi Semangat Dan Kerja Keras Tim, Kekalahan Harus Di Terima Dengan Lapang Dada

11. Mia San Treue


Ini Lebih Fantastis Nih, Lebih Dari 12 Juta Orang Mengaku Sebagai Fansnya Bayern, Ribuan Dari 12 Juta Orang Rela Berpergian Jauh Hanya Untuk Menyaksikan Tim Bermain, Sehingga Tim Harus Menunjukkan Loyalitas Mereka Dengan Bermain Total Untuk Apresiasi Kepada Para Fans Bayern.

12. Mia San Partner
Hubungan Yang Terjalin Dengan Para Fans, Fans Club, Member, Dan Sponsor Bersifat Kemitraan Sejati.

13. Mia San Heimat
Dimana Pun Berada, Bayern Munchen Selalu Merasa Seperti Berada Di Rumah Sendiri, Meski Begitu, Bayern Tetap Mengerti Dimana Rumah Sejatinya

14. Mia San Motor
Bayern Harus Selalu Menunjukkan Power Yang Sangat Besar Dalam Perjalanan Sejarahnya, Hal Ini Mendorong Para Pemain Untuk Selalu Percaya Diri Dan Benar-Benar Bermotivasi Tinggi.

15.Mia San Verantwortung
Bayern Selalu Menjunjung Tinggi Tanggung Jawab Sosial Yang Besar Dalam Segala Hal Yang Di Lakukan

16. Mia San Familie
Prinsip Ini Yang Selalu Saya Suka Ketika Menjadi Fans Bayern, Prinsip Ini Mengajarkan Untuk Selalu Menanggap Keluarga Bagi Setiap Para Fans, Staff, Pemain, Dan Semua Orang Yang Berada Dalam Naungan Bayern Munchen, Prinsip Ini Sangat Saya Rasakan Ketika Bayern Kalah Beberapa Waktu Lalu Saya Merasa Sifat Kekeluargaan Masih Sangat Terasa Menyemangati Saya ( Meskipun Saya Sendiri Berada Di Indonesia )

Itulah Ke-16 Prinsip Dasar Dari Filosofi " Mia San Mia "
Menurut Saya Filosofi " Mia San Mia " Sangat Layak Untuk Menjadi Panutan Bagi Persepakbolaan Dunia, Karenanya Jiwa Kekeluargaan Sangat Di Tekankan Dalam Filosofi " Mia San Mia " Ini ( Menurut Saya Lho Yah :D )
Bagi Seorang Bavarians ( Fans Bayern ) Filosofi Ini Sangat-Sangat Berarti Dan Menjadi Acuan Prinsip Dasar Yang Harus Di Miliki Oleh Seorang Bavarians Sejati.

Sampai Disini Dulu Yah Perjumpaan Kita Pada Kesempatan Kali Ini!
Terima Kasih Yang Udah Menyempatkan Waktunya Untuk Membaca, MIA SAN MIA ! :)
Salam Blogger!

Sabtu, 23 Maret 2013

Sahabat cepat STORY'S

*dirumah adam
adam: "lu mau gak nasi dog-dog di depan, enak kan!"
abiyyu: "boleh lu bayarin?"
adam : "BAYAR SENDIRI!"

*di sekolah
adam: "pak, malaikat punya sayap pak?"


adam: "......... *ga ngomong
lemot: "mampus lu dam"

chika: "oii mot"
lemot: "oii chik"
adhi: "oii mot"
dzaki: "oii mot"
abiyyu: "oii mot"
adly: "oii mot"
raka: "oii mot"
riko: "oii mot"
nanda: "oii mot"
lemot: "oii"

adam : "barikade zombie! mereka menyerang! terjadi mutant besar zombie outbreak!"
lemot, abiyyu, dede: "serahlu dam"
adly: "apasih dam gajelaslu!"

raka: "kita mesti telanjang, dan benar benar besih. biar laku ditempat prostitusi *nada untuk kita renungkan-EbietG,ade"

*adam datang
abiyyu: "astafirullah, misbar misbar!"

dede: "hidup ini berat, coba lu angkat!"

lemot: "kemaren gua naek sepeda bensinnya abis"

dede: "kangkung, kangkung. kekeringan! *nada issabella"

pa sardi: "muhammad daki"
dzaki: "*tunjuk tangan"

abiyyu: "amala"
lemot: "jeng jet"
chika: "......."

indri: "zayn malik"
abiyyu: "zaynun inun"

lemot: "kemaren gua naek sepeda di tabrak tukang cireng mengapa aku selalu sial"

dede: "aku amnesia.. hohoho. tapi kagak jadi.. hohoho"

lemot: "emang bisa lu de"
dede: "in dede we trust"
*gagal
lemot: "mampus lu de"
dede: "in dede we fail"
abiyyu: "in dede wiwit *gak ngerti"

*manggil dede"
abiyyu: "woy dudu!"
*manggil lemot
abiyyut: "woy mot!"
*manggil yang laen
abiyyu: "woy jo!"
*manggil adam
abiyyu: "woy bel" (gembel)

raka: "mot dede ngapa ga masuk"
lemot: "kemaren kalah maen digimon"
adly: "mot raka ngapa ga masuk?"
lemot: "kalah maen digimon jadi ga masuk 1 minggu kaya dede"

lemot: "lu mau tau seberapa kuat gua, gua makan sereal ga pake susu"
genta: "yoii lemot"

genta::"mot ada berita baru ga"
lemot: "ada bro tukang cireng ga jualan"

dede: "apa cuma gue disini? yang kuat nganterin adam?!"

babs: "tukang bubur naek haji"
raka: "tukang sate naek haji"
dede: "tukang bubur jualan somay"

mbanya lemot: "pantesan kurus, salencer!"
adam: "salencer apaan"

lemot: *naek motor di klaksonin balesnya bip bip

Riko: "babs cipung siapa sih?"
babs: "orang brengsek yang lebih brengsek darilu!"
lemot: "wkwkwk"

babs: "babilu mot!"
lemot: "lu babi"

abiyyu: "gembel lumah jak ngapain sih"
dzaki: "iya gua tau bi lu bisa"

bu yani: "muhammad juki"
dzaki: *angkat tangan

dzaky: "b. indo di print!"
abiyyu: "b..indo di tulis tangan! batuuuu..."
lemot, dede: "b.indo di print"
abiyyu: "tanya chika ayo"
*telpon chika
chika: "apa mot?"
lemot: "de ngomong de"
dede: "bindo di print?"
chika: "iya"
abiyyu: "tuh ki...! b.indo diprint bukan ditulis tangan!"

guru apa aja: "ada pr ?"
dody: "ada bu/pa"
yang laen: "ga ada bu"
sebagean yang laen: *diem

lemot: "inter juara liga champions!"

adhi: "kuliah bsi ae"
abiyyu: "kuliah masih jaman ae"

dede: "kemaren gw nginep di anyer beli kangkung hotplate 30.000"
raka: "kok bisa kenapa? wahh hotel mahal ya?"
dede: "kan dipantai gk ada kangkung"
raka: "......"
dede: "gw gk salah kan?"

adam: "gw makan lele biasanya pake sambel"
dede: "makan lele pake lele lah, masa pake rendang?"
adam: "....."
dede: "gw gk salah kan?"

dede: "psp psp psp psp psp psp psp psp psp psp psp"

*via sms
lemot: "nang lu masuk siang?" *rabu
canang: "iya" *kamis
lemot: "oh" *jumat
canang: "napa mot mau ngeband ya" *sabtu
lemot: "kaga mau ngeprint"  *minggu
*senin ngeprint

abiyyu: "bayern vs munchen kapan de?"

dede: "fc bayern, stren des sudens, du wis niemals untergen, wir will in guten wie hin zelt tu zaieten zu einander sthen...."
abiyyu: "fc bayern, stede suden, nunni nimals u hftjibfyvjhyt$@#%#$%%"






Tragedi bintaro

“Tragedi Bintaro” adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada Senin pagi, 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terdahsyat dan terburuk dalam sejarah perkereta-apian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup namun sedang meregang nyawa.
Semoga semua korban dapat beristihahat dengan tenang, dan semoga tragedi ini tak akan terulang lagi, aamiin.
Tepat dihari ini, 19 Oktober 1987 di hari Senin pagi yang ramai, 25 tahun lalu.
Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro.
Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.
Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September ditahun yang lebih awal 1968, yang menewaskan 116 orang.
Tabrakan pada tahun 1968 itu terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok
*****
Namun pada artikel kali ini, kita mencoba mengenang kembali (flashback) dimasa lalu pada tahun 1980-an, seconds from disaster di pagi hari tepatnya pada Senin tanggal 19 Oktober 1987.
Saat itu adalah detik-detik sebelum dua rangkaian kereta api ekonomi yang berjalan di kedua arah yang berbeda, namun keduanya hanya dalam satu jalur rel kereta api saja… dan akhirnya bertabrakan secara dahsyat!
Lokasi
Lokasi pada saat ini sat kecelakaan terjadi berada di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah Utara SMUN 86 Bintaro.
Tempat kejadian perkara berada di dekat tikungan yang melengkung (kini jalan tol) Bintaro, tepatnya di lengkungan berpola huruf “S”.
Berjarak kurang lebih 200 meter setelah palang pintu Pondok Betung atau ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara. Koordinat 6°15’39.9791”S 106°45’39.96”E (lihat peta lokasi)
Awal Mula Kesalahan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya.

Jenis Lokomotif nomer BB303 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.225 kelas Ekonomi, dari Merak ke Tanah Abang Jakarta, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dipimpin oleh masinis Amung Sunarya dengan asistennya Mujiono. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30617 ini bermuatan kurang lebih 500 penumpang, dan berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama.

Jenis Lokomotif nomer BB306 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.220 kelas Patas, dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
Agar tak bingung, dibawah ini adalaqh urutan stasiun sepanjang trek sebelum bencana tersebut terjadi. Pada urutan trek masa sekarang, ada tiga stasiun baru yang pada masa lalu belum ada. Jika stasiun diurut dari arah Serpong ke arah Kebayoran pada masa kini, maka:
Rangkas Bitung –>Serpong – Rawa Buntu (stasiun baru) – Sudimara – Jurang Mangu (stasiun baru)Pondok Ranji (stasiun baru)lokasi tabrakan – Kebayoran … <– JakartaKota
Ringkasnya, posisi stasiun KA single trek pada masa lalu itu adalah:
Rangkas Bitung ->Serpong – Sudimara - lokasi tabrakan – Kebayoran … <- JakartaKota
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 Ekonomi (Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Dari sini sudah terlihat KESALAHAN PROSEDUR kepala stasiun Serpong, karena tidak adanya komunikasi dan kordinasi dari Kepala Stasiun Serpong kepada Kepala Stasiun Sudimara.
Sehingga ketika KRD no. KA 225 (Rangkas-Jakarta) itu diberangkatkan dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, ternyata benar stasiun Sudimara yang hanya punya 3 jalur saat itu penuh dengan dua KA.
Maka Kepala Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 dilansir masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasuin Sudimara:
  • Jalur 1: KA 225 (jalur lacu)
  • Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
  • Jalur 3: KA barang tanpa lokomotif
Memang menurut jadwal, seharusnya keduanya akan bersilang di stasiun Sudimara ini, dimana kalau tepat waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA Cepat Patas 220 yang akan lewat pada pukul 06.49 di Stasiun Sudimara. Tapi kenyataannya, KA 225 ini terlambat 5 menit ketika sampai di Sudimara.
Alhasil semua jalur kereta di stasiun Sudimara akan tertutup rapat dan kereta lain tak bisa lewat. Karena penuh, maka kegiatan persilangan juga menjadi suatu yang mustahil.
Karena tak bisa, otomatis persilangan di Sudimara terpaksa dipindahkan lagi saja ke stasiun Kebayoran dengan menyuruh KA 225 jurusan Rangkas-Jakarta yang baru saja tiba dari Serpong dan kini ada di Sudimara dengan waktu yang terlambat itu, segera diberangkatkan ke stasiun Kebayoran.
Jadi pindah stasiun lagi untuk persilangan, yaitu ke stasiun Kebayoran. Namun karena kesalahan prosedur kali inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur yang akhirnya menyebabkan 139 orang tewas.
Sementara itu, ada kereta kedua KA 220 di stasiun Kebayoran dengan arah tujuan yang berlawanan, yaitu KA Patas yang tak berhenti (KA Cepat) bernomer KA 220 (Jakarta-Merak) yang arahnya berlawanan dengan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dan akan diberangkatkan dari Sudimara dan masuk ke stasiun Kebayoran.
Kembali ke stasiun Sudimara yang jalur keretanya penuh, dimana KA 225 sedang berada dan tak mungkin dilakukan persilangan/berpapasan, maka kemudian diberangkatkanlah KA 225 dari stasiun Sudimara ke stasiun Kebayoran agar dapat bersilang/papasan di stasiun Kebayoran.
Semboyan keberangkatan pun ditiup oleh kepala stasiun Sudimara, lalu KA 225 yang ada dijalur 1 Sudimara dan penuh penumpang tersebut, berangkat menuju stasiun Kebayoran….
Kembali lagi kita ke stasiun Kebayoran , disaat yang sama kereta cepat (KA Patas Jakarta-Merak) baru datang dan tak ada prosedur memberhentian tunggu karena KA Cepat tidak berhenti lama, maka tak lama kemudian KA Patas 220 (Jakarta-Merak) juga langsung diberangkatkan dari Kebayoran ke stasiun Sudimara dimana pada saat yang sama KA 225 sedang jalan menuju stasiun Kebayoran dalam satu jalur rel!!
Anehnya, padahal sebelum dilakukan persilangan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dari stasiun Sudimara (yang penuh) ke stasiun Kebayoran, sudah dilakukan kontak telepon oleh Kepala Stasiun Sudimara kepada Kepala Stasiun Kebayoran untuk meminta izin.
Pertanyaanya sekarang, mengapa kepala stasiun Kebayoran dengan “gila” telah melepas keberangkatan KA Patas 220 dari stasiun Kebayoran untuk berangkat ke stasiun Sudimara?
Rentetan Kesalahan Prosedur Yang Fatal
Mari kita ulangi kejadiannya lagi. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya hanya ke masinis, setelah itu baru menelpon meminta ijin ke Kebayoran, waduhhh! Dan sangat disayangkan, oleh PPKA Kebayoran waktu itu malah menjawab “Gampang, nanti diatur!”
Namun sesaat setelah itu, terjadi pula pergantian petugas PPKA Kebayoran. Padahal PPKA pengganti ini telah diberitahu oleh pendahulunya, bahwa di stasiun Sudimara ada dua KA yang belum masuk, termasuk KA 225. Pada saat itu, KA 220 sudah ada di Kebayoran dan siap berangkat.
Sementara itu di Sudimara, PPKA menyuruh juru langsir untuk melakukan tugasnya. Seharusnya pada saat itu, masinis harus memberikan laporan T-83 ke PPKA dan memberitahu rencana langsiran ke masinis KA 225.
Tapi entah kenapa, kereta KA 225 tiba-tiba langsung tancap gas dan melesat ke Kebayoran, tanpa ijin dari PPKA. Bahkan Kondekturnya juga tidak sempat naik!
Karena kewalahan, juru langsir langsung melapor ke PPKA.
Benar saja, selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA nomer 220 jurusan JakartaKota-Tanahabang-Merak sudah berangkat dan sedang melaju menuju Sudimara.
Seketika, dua petugas PPKA Sudimara, mengejar KA 225 yang baru diberangkatkan dari Sudimara ke Kebayoran dengan berlari mengejar kereta KA 225 tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Mereka berdua terus menggoyangkan sinyal secara bergantian untuk menghentikan KA 225 tapi sia-sia.
Salah satu petugas PPKA Sudimara, Djamhari, tak patah arang, dia kejar lagi KA tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Tapi inipun juga gagal, karena kecepatan KA di atas 50 km/jam maka tidak mampu dikejar. Hingga ada juga petugas yang naik motor mengejar KA225, namun lalu lintas yang padat saat jam berangkat kantor, maka usaha terakhir ini pun juga sia-sia.
Djamhari melihat dari jauh KA 225 terus melaju semakin kencang ke arah stasiun Kebayoran, pengejarannya pun tetap sia-sia. Seketika ia menangis karena kaget, syok dan lelah, Djamhari pun sempat pingsan ditempat, dan setelah sadar ke stasiun Sudimara, dia pingsan lagi.
Pada saat yang sama, KA Patas 220 yang telah diberangkatkan dari Kebayoran juga terus melaju berangkat dari Kebayoran menuju Sudimara untuk menjemput maut…
Perjalanan Menuju Maut
Ngeri rasanya jika dibayangkan, hanya satu jalur KA antara kedua stasiun tapi diisi oleh dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Dua kereta api yang sama-sama sarat dengan penumpang, namun seluruhnya tak mengetahui keadaan genting ini, akhirnya pada Senin pagi itu dua KA dengan kecepatan penuh melaju bersama dengan arah saling berlawanan yang pada saat itu hanya ada satu fasilitas jalur rel.
Ditambah, jalur rel di KM 17+252 terdapat tikungan zig-zag yang berbentuk “S” berjarak pendek, tapi dikelilingi pepohonan yang rimbun. Disini sudut pandang cukup terbatas, kedua masinis sama-sama tak dapat melihat dan kedua kereta bertemu secara tiba-tiba.
Dalam keadaan mendadak, tiba-tiba kereta dari arah berlawanan muncul, para masinisnya panik dan tidak sempat mengerem, dan jika dilakukan pun akan percuma, apa yang bisa dilakukan hanyalah meloncat keluar!
Akhirnya tabrakan tak dapat lagi dihindari, kedua KA “bertabrakan muka” di lokasi ± Km 18.75 .
Benturannya sedemikian dashyatnya, hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.
Jika prosedur dilakukan, maka KA 220 Patas (KA Cepat) yang akan melintas di stasiun Kebayoran secara normal, justru yang harus berhenti menunggu karena stasiun Sudimara penuh, KA 220 yang justru harus mengalah dan berhenti di stasiun Kebayoran untuk menunggu, hingga KA 225 sampai tiba di Kebayoran dan berpapasan di stasiun Kebayoran tersebut dengan KA 220.
Dampak Tragedi
Akibat tragedi tersebut, masinis KA Patas 220 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.

slamet tragedi bintaro
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah kini menapaki masa tua dengan penuh penantian.
Meskipun telah melalui banding, ia diputuskan tidak bersalah, hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun.
Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk mengenang masa lalu dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.
Kejadian ini sempat ramai diberitakan di berbagai media massa, dan sangat mengejutkan masyarakat. Walaupun kecelakaan kereta api sudah sering terjadi di dekade 1980-an, tapi baru kali ini sampai separah ini.
Namun PJKA tidak tinggal diam. Beberapa operasi penertiban segera dilaksanakan. Hal ini perlu, mengingat KA di jalur sekitar Tanahabang memang dari dulu terkenal karena ketidak-tertibannya. Entah karena banyaknya penumpang di lokomotif maupun di atap, ataupun karena banyak penumpang yang tidak membayar dan suka menghajar kondektur.

film Tragedi Bintaro
Dan pada saat kejadian, lokomotif KA 225 memang dipenuhi penumpang gelap, sebagian bergelantungan di luar.
Selain itu beberapa peningkatan prasarana juga dilakukan untuk pencegahan. Seperti pemasangan radio di lokomotif (pada waktu kejadian, sedikit lokomotif di Indonesia yang punya radio).
Selain itu di antara stasiun Kebayoran dan Sudimara kemudian dibangun stasiun baru, Pondok Ranji lalu disusul stasiun Jurang Mangu. Sistem persinyalan di jalur ini kemudian dirubah dari mekanik menjadi elektrik.
Namun, efek terbesar dari kejadian ini adalah pembangunan double track besar-besaran untuk mencegah tabrakan muka terjadi lagi. Ironisnya, program ini baru terlaksana hampir dua dekade kemudian dan akhirnya jalur ganda ini selesai pada tahun 2007. Andai proyek jalur ganda ini selesai 20 tahun lebih awal…

Kasus penutup - Sherlock Holmes

DENGAN berat hati, aku mengambil pena dan menuliskan kisah kehebatan temanku Holmes yang termasyhur itu, untuk yang terakhir kalinya. Selama ini, aku telah berusaha untuk menuliskan pengalaman-pengalaman unik yang kulalui bersamanya sejak masa kasus A Study in Scarlet, sampai masalah Dokumen Angkatan Laut—yang berhasil mencegah kericuhan internasional yang serius. Aku tetap merasa bahwa hasil tulisan-tulisanku tak cukup baik dan mungkin agak membingungkan. Sebetulnya aku bermaksud berhenti menulis tentang Holmes sejak dua tahun yang lalu, dan biarlah peristiwa itu, yang telah mengakibatkan hidupku serasa hampa selama dua tahun terakhir ini, kusimpan saja sebagai kenangan pribadiku. Tapi, tanganku terpaksa kuayunkan untuk menuliskan kisah berikut ini, karena adanya surat-surat yang ditulis oleh Kolonel James Moriarty yang membela almarhum adiknya. Aku tak punya pilihan lain kecuali membeberkan di depan umum apa yang sebenarnya telah terjadi. Hanya aku sendirilah yang tahu kebenaran tentang itu, dan kini aku sadar tak ada gunanya lagi hal itu ditutup-tutupi. Sejauh yang aku tahu, hanya ada tiga artikel yang berhubungan dengan hal itu yang diterbitkan untuk umum: satu di Journal de Genive pada tanggal 6 Mei 1891, lalu ulasan wartawan Reuter di koran-koran Inggris pada tanggal 7 Mei 1891, dan yang ketiga surat-surat yang baru-baru ini dimuat di beberapa surat kabar seperti yang kusinggung sebelumnya tadi. Yang pertama dan kedua cuma singkat saja, sedangkan yang ketiga merupakan pemutarbalikan fakta. Merupakan tanggung jawabku untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi antara Profesor Moriarty dan Mr. Sherlock Holmes.
Harap diingat, bahwa sejak pernikahanku dan sejak mulai praktek dokter sendiri, hubungan eratku dengan Holmes jadi agak terganggu. Sesekali dia masih mengunjungiku kalau dia memerlukanku untuk menemaninya melakukan penyelidikan, tapi lama-lama semakin jarang dia melakukannya. Sehingga pada tahun 1890 hanya tiga kasusnya yang ada dalam arsipku. Selama musim dingin tahun itu juga sampai awal musim semi tahun 1891, aku membaca di surat-surat kabar bahwa dia telah diminta jasanya oleh pemerintah Prancis untuk menangani sebuah masalah yang sangat penting, dan aku menerima dua surat dari Holmes, satu dikirim dari Narbonne, dan satunya lagi dari Nimes. Dari kedua suratnya itu, aku berkesimpulan bahwa nampaknya dia akan tinggal lama di Prancis. Itulah sebabnya aku sangat terkejut ketika aku melihatnya berjalan menuju ke ruang praktekku pada malam hari tanggal 24 April 1891. Keterkejutanku bertambah ketika kulihat wajahnya yang pucat dan badannya yang lebih kurus dari biasanya.
"Ya, akhir-akhir ini aku lebih banyak kerja keras," komentarnya, seolah tahu apa yang membuatku terkejut. "Aku agak merasa tertekan akhir-akhir ini. Boleh kututup jendelamu?"
Satu-satunya penerangan di ruangan itu berasal dari lampu mejaku yang kupakai untuk membaca. Holmes berjalan miring sepanjang dinding, lalu ditutupnya jendela dan dikuncinya dengan saksama.
"Ada yang kautakutkan?" tanyaku.
"Yah, begitulah."
"Apa yang kautakutkan?"
"Tembakan senapan angin."
"Sobatku Holmes, apa maksudmu?"
"Kurasa kau mengerti diriku dengan baik, Watson, bahwa aku bukanlah orang yang gampang gugup. Pada saat yang sama, adalah merupakan kebodohan dan bukannya keberanian kalau kau tak bersikap waspada akan kemungkinan terjadinya bahaya di dekatmu. Bisa tolong minta apinya?" Dia mengisap rokoknya dalam-dalam seolah-olah tindakannya itu bisa menenangkan dirinya.
"Maaf, aku kemari malam-malam begini," katanya, "dan aku juga mau minta izin dulu, karena nanti kalau pulang dari sini aku akan loncat dari tembok taman belakang."
"Apa maksudmu dengan semua ini?" tanyaku.
Dijulurkannya tangannya, dan nampaklah olehku di bawah sinar lampu mejaku bahwa dua buku jarinya terluka oleh tembakan peluru dan berdarah.
"Kaulihat sendiri, aku tak main-main," katanya sambil tersenyum. "Sebaliknya, biasa, kan, kalau laki-Iaki terluka tangannya? Apakah Mrs. Watson ada di rumah?"
"Tidak, dia sedang pergi."
"Benarkah? Jadi kau sendirian?"
"Begitulah."
"Kalau begitu lebih mudahlah bagiku untuk mengajakmu pergi denganku ke Eropa selama seminggu."
"Ke mana?"
"Oh, ke mana sajalah. Tak ada bedanya bagiku."
Aneh. Tidak biasanya Holmes bepergian tanpa tujuan yang jelas, dan wajahnya yang pucat dan letih menunjukkan bahwa dia sedang mengalami tekanan batin yang luar biasa. Dia menyadari keprihatinanku dari sorot mataku dan sambil mengatupkan ujung-ujung jari kedua tangannya dan menempelkan sikunya ke lututnya, dia mulai menjelaskan keadaannya
"Kau mungkin pernah mendengar tentang Profesor Moriarry?" tanyanya.
"Tidak."
"Wah, dialah si jenius hebat di balik semua ini!" teriaknya. "Jaringannya tersebar di seluruh London, dan tak seorang pun mengenal namanya. Itulah rekor puncaknya dalam dunia kriminal. Sungguh, Watson, kalau aku berhasil mengalahkan orang ini, kalau aku berhasil membebaskan masyarakat dari cengkeramannya, aku akan merasa bahwa karierku sudah mencapai puncaknya, dan aku akan bersiap untuk memilih pekerjaan lain yang lebih tenang. Antara kau dan aku saja, ya! Kedudukan yang kuperoleh ketika menangani kasus kasus yang baru-baru ini terjadi, yang menyebabkan keluarga kerajaan Skandinavia dan pemerintah Prancis sampai meminta jasaku, pasti bisa menyediakan pekerjaan ringan yang menyenangkan untuk mencukupi kehidupanku selanjutnya, dan aku bisa memusatkan perhatianku pada riset-riset kimiaku. Tapi aku tak bisa berpangku tangan, Watson, aku tak bisa duduk tenang, kalau aku membayangkan bahwa si Profesor Moriarty ini bisa enak-enak bebas berkeliaran di London, tanpa ada seorang pun yang mampu menghalangi rencana-rencana jahatnya."
"Apa gerangan yang telah diperbuatnya?"
"Kariernya luar biasa. Dia dilahirkan dari keluarga baik-baik dan pendidikannya tinggi. Dia mendapat karunia alam berupa kecakapan di bidang matematika. Pada usia dua puluh satu tahun, dia menulis risalah tentang Teorema Binomial yang saat itu sedang populer di Eropa. Atas dasar itulah dia diangkat menjadi mahaguru bidang matematika pada salah satu universitas kita, dan sejak itu kariernya terus menanjak. Tapi orang ini punya kecenderungan bersikap kejam yang menurun kepadanya. Ada sifat kurang baik yang diwarisinya dari nenek moyangnya, yang melalui kecerdasannya yang luar biasa, bukannya dibelokkan menjadi hal-hal yang positif, tapi malah menjadi-jadi jahatnya. Banyak orang mengeluhkan perangainya yang buruk ini, dan akhirnya dia dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai mahaguru dan dia pun lalu pindah ke London, dan bekerja sebagai guru matematika di ketentaraan. Hanya itulah yang diketahui orang pada umumnya, tapi aku akan menceritakan padamu apa yang telah kuselidiki lebih jauh dari orang ini.
"Seperti yang kausadari, Watson, tak ada orang yang tahu seluk-beluk dunia kejahatan tingkat tinggi di London sebaik diriku. Dengan berlalunya waktu, aku terus-menerus menyadari adanya kekuatan tersembunyi di balik tindak-tindak kejahatan yang terjadi, jaringan kekuatan yang kuat yang menghalangi ditegakkannya hukum dan melindungi para pelakunya. Dalam bermacam macam kasus yang tak terungkap—pemalsuan, perampokan, pembunuhan—aku merasakan dan mengambil kesimpulan bahwa kekuatan itulah yang berperan di belakangnya. Dan aku tak pernah dimintai bantuan untuk ikut menyelidikinya. Selama bertahun-tahun aku terus berusaha untuk menyingkapkan tabir yang menutupinya, dan setelah berputar-putar sekian lama, kini aku sudah berhasil menangkap jejak kekuatan yang tersembunyi itu yang mengarah pada seseorang bernama Profesor Moriarty yang dikenal sebagai ahli matematika itu.
"Dia itu Napoleon-nya dunia kejahatan, Watson. Dialah yang mengatur separo dari semua tindak kejahatan terselubung yang telah dan sedang terjadi di London ini. Dia seorang jenius, filsuf, pemikir yang teoretis. Otaknya cerdas sekali. Dia tinggal duduk diam, seperti labah-labah di tengah-tengah sarangnya, tapi jaringannya meluas ke mana mana, dan dia mengontrol semua perkembangannya. Dia tak perlu bekerja keras. Dia hanya mengatur rencana. Tapi agen-agennya banyak sekali dan diorganisasi dengan rapi. Kalau ada tindak kejahatan yang harus dilakukan—mencuri dokumen, merampok sebuah rumah, atau menggeser kedudukan seseorang, misalnya—pesan ini akan disampaikan ke Pak Profesor. Lalu dialah yang mengatur bagaimana sebaiknya tugas ini dijalankan. Agen yang menjalankan tugas ini bisa saja tertangkap. Kalau itu terjadi, akan diusahakan mendapatkan uang jaminan untuk melepaskan atau membelanya di pengadilan. Tapi otak kejahatan yang mempekerjakan para agen itu tak pernah tertangkap—bahkan dicurigai saja tak pernah. Begitulah kesimpulanku, Watson, dan aku sedang mengerahkan segenap kemampuanku untuk membongkar organisasi itu.
"Tapi Pak Profesor itu dijaga dengan ketat, begitu ketatnya sampai apa pun yang kulakukan, rasanya tak bisa membuktikan kejahatannya kalaupun dia sampai disidangkan. Kau kan tahu kemampuanku, Watson, tapi selama tiga bulan terakhir ini aku harus mengakui bahwa akhirnya aku menemukan juga seorang musuh yang mampu mengimbangi kecerdasanku. Walaupun aku ngeri melihat kejahatan-kejahatan yang diatur olehnya, aku juga mengagumi kelihaiannya. Tapi akhirnya dia tersandung juga. Hanya kesalahan kecil yang dibuatnya, namun itu cukup bagiku. Kumanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, dan sejak itu aku pun telah memasang jeratku di sekelilingnya. Sekarang ini, semua upayaku akan segera berakhir. Tiga hari lagi, yaitu Senin yang akan datang, semuanya siap, dan Pak Profesor itu beserta seluruh pentolan komplotannya akan berada di tangan polisi. Lalu, akan berlangsung pengadilan kejahatan terbesar abad ini, terbongkarnya lebih dari empat puluh kasus yang selama ini merupakan misteri, dan tiang gantungan bagi mereka semua. Tapi kami tak boleh bertindak terlalu dini, sebab bisa saja mereka lolos dari genggaman kami pada detik terakhir.
"Begini, kalau saja semua yang kurencanakan ini tak diketahui oleh Profesor Moriarty, maka semua akan mudah saja jadinya. Tapi dia itu terlalu lihai, sehingga tak mungkin tak mencium setiap detail dari rencanaku. Berkali-kali dia berusaha untuk lolos, tapi dengan gigih aku terus mengejarnya. Kalau saja pertempuran diam-diam ini bisa diceritakan secara tertulis, sobat, maka itu akan menjadi karya penyelidikan yang sangat lihai dan luar biasa. Tak pernah aku begitu seriusnya dan begitu tertekannya dalam menangani seorang penjahat. Dia amat tangguh dan aku baru saja berhasil mengalahkan ketangguhannya. Pagi tadi aku melakukan langkah-langkah terakhir, dan hanya dalam waktu tiga hari lagi semuanya akan beres. Aku tadi sedang duduk sambil membayangkan hal ini, ketika pintu kamarku terbuka, dan Profesor Moriarty berdiri di hadapanku.
"Aku bukan orang yang gampang terkejut, Watson, tapi terus terang waktu itu aku terkejut melihat orang yang sedang memenuhi pikiranku berdiri di kamarku. Aku sudah mengenalnya. Sosoknya kurus tinggi, dahinya amat menonjol ke depan sehingga membentuk lengkungan, dan kedua matanya amat tenggelam ke dalam. Wajahnya tercukur bersih, pucat, dan bagaikan pertapa. Dia masih tampak seperti seorang profesor sungguhan. Bahunya agak bungkuk karena terlalu banyak membaca, dagunya menonjol ke luar, dan dia selalu menoleh ke kiri dan ke kanan dengan tenang, bak seekor reptil yang sedang mengawasi sekelilingnya. Matanya yang mengerut menatapku dengan amat penasaran.
"'Tindakan Anda agak lamban, padahal saya kira Anda bisa lebih cekatan,' katanya pada akhirnya. 'Berbahaya sekali menggenggam pistol yang berisi peluru di dalam saku baju tidur Anda.'
"Memang, waktu dia masuk tadi, aku langsung menyadari kemungkinan bahaya yang mengancamku. Satu-satunya kemungkinan lolos baginya ialah dengan membunuhku. Dalam sekejap aku menyambar pistol dari laci dan menyelipkannya di saku bajuku. Aku membalas komentarnya dengan mengeluarkan pistolku yang sudah terkokang itu dan menaruhnya di meja. Dia masih tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya, tapi pandangan matanya serasa agak lain. Untunglah, pistol itu telah kutaruh di meja.
"'Anda ternyata tak mengerti diri saya,' katanya.
"'Sebaliknya,' jawabku, 'saya rasa saya sangat mengenal Anda. Silakan duduk. Kalau Anda ingin menyampaikan sesuatu, silakan. Saya punya waktu lima menit.'
"'Apa yang ingin saya sampaikan pasti sudah ada di benak Anda,' katanya.
"'Kalau begitu jawaban saya juga mungkin sudah ada di benak Anda,' jawabku.
"'Anda tetap ngotot?'
"'Tentu saja.'
"Dimasukkannya salah satu tangannya ke sakunya, dan aku pun langsung menyambar pistol yang ada di meja. Tapi ternyata dia cuma mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang berisi coretan tanggal-tanggal.
"'Anda menginjakkan kaki ke tempat saya pada tanggal 4 Januari,' katanya. 'Tanggal 23 berikutnya Anda menyusahkan saya; pertengahan Februari Anda juga mengganggu saya; akhir Maret Anda menghalangi rencana-rencana saya; dan sekarang, akhir April, gangguan Anda menyebabkan saya hendak ditangkap. Saya tak mungkin membiarkan hal ini berlarut-larut.'
"'Apakah ada saran yang ingin Anda kemukakan?' tanyaku.
"'Anda harus menghentikan semua ulah Anda, Mr. Holmes,' katanya sambil menggoyang-goyangkan wajahnya. 'Anda benar-benar harus menghentikannya, mengerti?'
"'Sesudah hari Senin,' kataku.
"'Wah, wah!' katanya. 'Saya yakin orang secerdas Anda pasti tahu apa yang akan terjadi dengan ulah Anda ini. Anda benar-benar harus mengundurkan diri. Anda sudah mengatur segalanya sedemikian rupa sehingga hanya ada satu jalan keluar bagi kami. Saya merasa mendapat kehormatan karena dapat mengamati cara kerja Anda, dan dengarlah, saya tak main-main kalau saya katakan bahwa saya sebenarnya tak menginginkan mengambil langkah-langkah kekerasan. Anda tersenyum, sir, tapi memang begitulah keadaannya.'
"'Bahaya adalah bagian dari pekerjaan saya,' komentarku.
"'Maksud saya bukan sekadar bahaya,' katanya, 'tapi penghancuran yang tak bisa dihindari. Anda tidak sedang berhadapan dengan seseorang, tapi dengan suatu organisasi yang besar. Bagaimanapun cerdasnya Anda, Anda takkan dapat melihat seberapa besarnya organisasi itu. Jadi, Anda harus minggir, Mr. Holmes, atau akan terinjak-injak.'
"'Maaf,' kataku sambil berdiri, 'saya sampai terlena dalam pembicaraan ini, sehingga saya hampir saja mengesampingkan sesuatu yang penting yang harus saya kerjakan di tempat lain.'
"Dia juga berdiri dan menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih.
"'Yah, yah,' katanya pada akhirnya. 'Sayang sekali. Tapi saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Saya tahu apa pun yang akan Anda lakukan. Tak ada yang bisa Anda lakukan sebelum hari Senin. Ini adalah pertarungan antara Anda dan saya, Mr. Holmes. Anda ingin memenjarakan saya. Dengar, itu tak mungkin. Anda juga ingin mengalahkan saya, tapi itu pun tak mungkin. Kalau Anda merencanakan untuk menghancurkan saya, saya pun akan menghancurkan Anda.'
"'Anda telah banyak memuji saya, Mr. Moriarty,' kataku. 'Saya akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kalau yang pertama bisa terjadi, saya pun akan rela bila hal yang Anda ucapkan terakhir kali itu sampai terjadi, demi kepentingan orang banyak.'
"'Saya jamin hanya satu yang akan terjadi, bukan yang satunya lagi,' dia menjawab dengan geram lalu membalikkan badan dan pergi sambil menengok-nengok ke sekeliling kamarku
"Begitulah pembicaraanku yang unik dengan Profesor Moriarty. Kuakui pikiranku sangat terganggu karenanya. Gaya bicaranya yang tenang dan tepat menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh, bukan sekadar mengancam. Tentu saja kau akan mengatakan, 'Mengapa tak minta bantuan polisi untuk melawannya?' Alasannya ialah karena aku yakin bahwa agen-agennyalah yang akan mengerjaiku. Aku punya bukti-bukti yang menguatkan hal itu."
"Kau sudah pernah diserang?"
"Sobatku Watson, Profesor Moriarty bukanlah orang yang suka membuang-buang waktu. Aku pergi keluar tadi siang karena ada urusan di Oxford Street. Ketika aku melewati belokan dari Bentinck Street dan menuju persimpangan jalan di Welbeck Street, sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda tiba-tiba menerjangku dengan kecepatan tinggi. Aku melompat ke trotoar dan kalau terlambat sedetik saja, aku pasti sudah terlindas oleh kereta yang berasal dari Marylebone Lane itu. Dalam sekejap mata kereta itu menghilang. Aku lalu berjalan di trotoar saja sesudah itu, Watson, tapi ketika aku sedang melewati Vere Street, sebuah batu bata terjatuh dari atap sebuah rumah dan jatuh berkeping-keping di kakiku. Aku memanggil polisi dan tempat itu pun diperiksa. Di atas atap rumah itu memang ditemukan tumpukan kayu dan batu bata untuk persiapan perbaikan rumah itu, dan mereka meyakinkanku bahwa tadi pasti ada tiupan angin yang telah menyebabkan batu bata itu tergeser dan jatuh menimpa kakiku. Tentu saja aku tak percaya itu, tapi aku tak bisa membuktikan pendapatku. Aku lalu memanggil taksi dan pergi menemui kakakku di Pall Mall. Seharian aku tinggal di tempatnya. Sekarang, aku menemuimu di sini, dan tadi dalam perjalanan seseorang menghantamku dengan tongkat pemukul. Aku berhasil memukulnya kembali, dan polisi lalu meringkusnya, tapi menurutku, tertangkapnya cecunguk yang kutinju gigi depannya itu, takkan menunjukkan jejak ke arah bekas guru matematika yang sedang merancang semuanya ini dari tempat yang jauh. Itulah sebabnya kau tak perlu heran, Watson, kenapa aku langsung menutup jendelamu begitu aku masuk ke sini tadi, dan aku harus minta izin untuk nanti pulang tidak lewat pintu depan."
Sebelum ini aku sering mengagumi keberanian temanku yang satu ini, tapi sekarang lebih-lebih lagi. Hebat sekali dia bisa dengan tenang membahas insiden-insiden menakutkan yang terjadi sepanjang hari itu!
"Kau mau menginap di sini?" tanyaku.
"Tidak, sobat, kehadiranku akan sangat membahayakanmu. Aku sudah punya rencana sendiri, dan semuanya akan baik-baik saja. Sudah banyak yang kulakukan, dan penangkapan terhadap komplotan itu bisa dilaksanakan tanpa bantuanku, walaupun nantinya kehadiranku dibutuhkan juga sebagai saksi. Tapi, yah, sebaiknya aku pergi selama beberapa hari ini, biarlah polisi yang menindaknya. Itulah sebabnya aku akan sangat senang kalau kau bisa menemaniku pergi ke Eropa."
"Praktekku sedang sepi," kataku, "dan ada tetangga yang bisa mengawasi rumahku. Dengan senang hati aku akan menemanimu."
"Dan bisa berangkat besok pagi?"
"Kalau memang perlu begitu, oke saja."
"Oh, ya, sangat perlu. Kalau begitu, dengarkan apa-apa yang harus kaulakukan, dan kumohon dengan sangat, sobatku Watson, laksanakanlah dengan tepat sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, karena kita akan terlibat permainan yang sangat merepotkan melawan penjahat paling cerdik dan sindikat penjahat paling kuat di seluruh Eropa. Sekarang, dengarkan! Suruhlah seseorang yang bisa kaupercaya untuk mengirimkan koper bawaanmu tanpa diberi label alamat ke Victoria malam ini juga. Besok pagi, suruh seseorang lagi untuk memanggil kereta, tapi jangan sampai dia membawa kereta pertama atau kedua yang menawarkan diri. Lalu berangkatlah ke Lowther Arcade di ujung Jalan Strand. Tuliskan alamat yang akan kautuju itu di secarik kertas, dan berikan pada pengendara kereta itu sambil berpesan agar kertas itu jangan sampai hilang. Siapkan ongkos kereta, dan begitu kereta berhenti di ujung Jalan Strand itu, larilab menyeberangi Lowther Arcade, dan perhatikan jam tanganmu. Kau harus sampai di seberang pada jam sembilan lewat seperempat. Di sana kau akan menemukan sebuah kereta lain yang lebih kecil, sedang menunggu di pinggir jalan. Pengendaranya berjubah hitam dan berkerah warna merah. Masuklah ke dalam kereta itu, dan kau akan diantar ke Victoria. Sampai di sana, bergegaslah naik kereta api cepat Continental."
"Di mana aku akan menemuimu?"
"Di stasiun itu. Gerbong kedua dari kelas utama sudah dipesan untuk kita."
"Jadi kita berjanji akan bertemu di gerbong kelas utama itu, ya?"
"Ya."
Aku tak berhasil membujuk Holmes agar menginap saja di rumahku. Jelas sekali bahwa dia merasa akan membawa malapetaka bagi rumah dan keluarga yang diinapinya. Karena itulah, dia pun bersikeras menolak menginap di rumahku. Sambil dengan tergesa-gesa mengingatkanku akan rencana kami besok pagi, dia bangkit dan aku mengantarnya sampai ke taman belakang. Lalu kulihat dia memanjat tembok belakang yang menuju ke Mortimer Street. Kudengar dia langsung bersiul memanggil kereta untuk membawanya pergi.
Keesokan harinya, aku melaksanakan apa yang dipesankan Holmes sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya. Aku mendapatkan kereta dengan amat berhati hati dan setelah benar-benar yakin bahwa kereta itu bukanlah yang disediakan untuk kami sebagai perangkap. Setelah makan pagi, aku langsung berangkat ke Lowther Arcade, lalu menyeberanginya sambil berlari secepat mungkin. Sebuah kereta lain sudah menunggu. Pengendaranya berbadan besar dan mengenakan jubah hitam. Begitu aku melangkah masuk, pengendaranya langsung memecut kudanya, dan kereta pun langsung melaju dengan kencang menuju Stasiun Victoria. Begitu aku turun, pengendara kereta itu langsung memutar keretanya dan pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun kepadaku.
Sejauh ini semua berjalan dengan lancar. Koper bawaanku sudah menungguku di situ, dan aku tak mengalami kesulitan mendapatkan gerbong kereta yang dimaksudkan oleh Holmes, lebih-lebih karena cuma gerbong itulah yang diberi tanda "terpakai". Kecemasanku satu-satunya ialah ketidakhadiran Holmes. Jam di stasiun sudah menunjukkan tinggal tujuh menit lagi kereta akan berangkat. Kucari-cari sosok temanku yang sigap itu di antara orang-orang yang berkerumun dan lalu lalang di sekitar situ, tapi sia-sia belaka. Dia tak kelihatan di mana-mana. Aku malah merasa perlu menolong seorang pastor Italia yang anggun yang sedang berupaya menjelaskan kepada porter kereta, dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah, agar bagasinya dikirimkan ke Paris. Lalu, setelah melongok-longok ke sekeliling sekali lagi, aku kembali ke gerbong. Ternyata porter tadi telah mempersilakan pastor tua Italia itu naik ke gerbongku, padahal tempat itu telah diberi tanda "terpakai". Kurasa tak ada gunanya menjelaskan bahwa dia sebetulnya salah masuk, karena kemampuanku berbahasa Italia tak lebih baik dibanding kemampuannya berbahasa Inggris. Jadi, aku pun hanya mengangkat bahu dan lalu melanjutkan mencari-cari temanku dengan khawatir. Ketakutan mulai merayapi diriku, jangan-jangan sesuatu yang mengerikan telah menimpanya tadi malam. Pintu-pintu kereta telah ditutup, dan peluit pun dibunyikah, lalu...
"Sobatku Watson," sebuah suara menegurku, "kenapa kau tak mengucapkan selamat pagi?"
Aku menoleh dengan sangat terkejut. Pastor tua di sampingku menoleh ke arahku. Dalam sekejap, kerut-kerut di wajahnya itu telah hilang, hidung yang tadinya hampir menempel ke dagu itu pun kini sudah normal lagi, bibir bawahnya tak dimajukan lagi, mata yang tadi sayu sekarang bersinar-sinar, dan profil tubuhnya yang tadi lunglai sekarang ditegakkan. Pokoknya kini penampilannya lain sekali, dan ternyata dia itu temanku Holmes.
"Astaga!" seruku. "Kau benar-benar mengejutkanku!"
"Aku harus hati-hati," bisiknya. "Aku punya alasan untuk menduga bahwa mereka sedang mengikuti jejak kita. Ah, itu dia Moriarty."
Kereta sudah mulai bergerak ketika Holmes mengatakan itu. Aku menoleh ke belakang dan tampaklah olehku seorang pria jangkung sedang berjalan dengan tergesa-gesa di antara kerumunan orang dan melambai-lambaikan tangannya seolah-olah ingin menghentikan kereta itu. Tapi tentu saja dia terlambat, karena kereta sudah berangkat, dan sekejap kemudian sudah keluar dari stasiun.
"Dengan segala upaya kita yang penuh kewaspadaan, lihatlah, semua berjalan dengan lancar," kata Holmes sambil tertawa. Dia bangkit dari duduknya, dan dilepaskannya kostum penyamarannya yang berupa jubah dan topi hitam, lalu disimpannya di tasnya.
"Sudah baca koran pagi, Watson?"
"Belum."
"Kau belum dengar tentang Baker Street, kalau begitu?"
"Baker Street?"
"Kamar kita dibakar semalam. Tapi kerusakannya tak seberapa."
"Ya Tuhan, Holmes! Ini sudah keterlaluan."
"Mereka pasti kehilangan jejakku sama sekali setelah penjahat yang membawa tongkat pemukul itu tertangkap. Kalau tidak, mana mungkin mereka mengira aku kembali ke rumah. Tapi mereka lalu mengalihkan perhatian mereka dengan mengawasimu. Itulah sebabnya Moriarty bisa sampai ke Victoria. Kau tadi tak membawa kekeliruan apa-apa, kan?"
"Semua yang kaupesankan telah kulaksanakan dengan cermat."
"Kau menemukan kereta kecil itu?"
"Ya, waktu aku sampai di tempat itu, kereta itu sudah menungguku."
"Kaukenal siapa yang mengendarai kereta itu?"
"Tidak."
"Mycroft, kakakku. Dalam situasi seperti ini, sebaiknya kita tak meminta bantuan orang upahan yang bisa membahayakan keadaan kita. Sekarang, kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan terhadap Moriarty."
"Yang membawa kita ini kan kereta ekspres setelah itu kita langsung naik kapal. Kukira dia takkan bisa mengejar kita."
"Sobatku Watson, kau pasti tak mengerti maksudku ketika kukatakan bahwa orang ini benar-benar sama cerdasnya denganku. Kalau aku yang jadi pihak pengejar, kau pasti yakin, bahwa aku takkan menyerah begitu saja. Kenapa kau begitu meremehkan dia?"
"Apa lagi yang bisa dia lakukan?"
"Apa yang akan aku lakukan kalau aku berada dalam keadaan seperti itu."
"Coba katakan, apa itu?"
"Menyewa kereta api khusus."
"Tapi, toh tak mungkin akan mendahului kita?"
"Siapa bilang? Kereta ini berhenti di Canterbury, dan baru seperempat jam kemudian kapal berangkat. Dia akan menangkap kita disana."
"Kok, malah dia yang mengejar-ngejar kita, sepertinya kitalah penjahatnya. Kita minta polisi untuk menangkapnya saja di sana nanti."
"Itu akan menghancurkan jerih payahku selama tiga bulan. Kita dapatkan kakapnya, namun teri-terinya lolos. Besok Senin, semuanya pasti tertangkap. Jadi sekarang ini, dia jangan ditangkap dulu."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Kita akan turun dari kereta di Canterbury."
"Lalu?"
"Yah, kita akan melakukan perjalanan lintas negara ke New Haven, lalu ke Dieppe. Tindakan Moriarty selanjutnya dapat kuduga. Dia akan melanjutkan perjalanan ke Paris, mengamati koper-koper kita, dan menunggu di tempat penyimpanan bagasi selama dua hari. Sementara itu, kita beli saja dua tas baru, agar produsennya senang, dan kita menuju ke Swiss dengan santai, lewat Luxemburg dan Basle."
Aku sudah sering bepergian, sehingga kehilangan koper tidak terlalu merepotkanku, tapi aku sebal karena kami harus bersembunyi gara-gara seorang penjahat yang dosanya sudah tak terhitung lagi. Namun nampaknya Holmes lebih paham akan situasi kami daripada diriku. Jadi kami pun turun di Canterbury, dan harus menunggu selama satu jam sebelum kereta yang membawa kami ke New Haven berangkat.
Aku sedang memandangi, dengan agak sedih, gerbong yang membawa pergi barang-barangku, ketika Holmes menarik lengan bajuku dan menunjuk ke atas.
"Betul, kan?" katanya.
Di atas hutan wilayah Kent itu, terlihat asap mengepul. Satu menit kemudian sebuah lokomotif yang menarik satu gerbong melaju ke arah stasiun. Dengan spontan kami bersembunyi di balik tumpukan bagasi ketika kereta api itu lewat di depan kami dengan bunyi mesinnya yang memekakkan telinga dan menyemprotkan udara panas ke wajah kami. Wah, nyaris!
"Dia telah pergi," kata Holmes ketika kami memperhatikan kereta itu melesat dan menghilang di kejauhan. "Kaulihat, ternyata kecerdikan musuh kita itu ada batasnya. Dia sebenarnya bisa lebih berhasil seandainya saja dia tahu bahwa aku bisa menduga rencananya, dan kemudian bertindak sessuai dengan itu."
"Apa yang akan dilakukannya kalau dia berhasil menyusul kita?"
"Dia pasti akan berusaha membunuhku. Kalau dia nekat begitu, dua-duanya, aku dan dia sendiri, bisa tewas bersamaan. Sekarang, apakah sebaiknya kita makan siang agak lebih pagi di sini, atau nanti saja di New Haven?"
Kami melanjutkan perjalanan ke Brussel malam itu dan tinggal di situ selama dua malam. Hari berikutnya, kami menuju ke Strasbourg. Pada Senin pagi, Holmes mengirim telegram ke Kepolisian London, dan malamnya kami mendapat jawaban. Holmes membuka telegram itu, dan sambil menyumpah-nyumpah dilemparkannya telegram itu ke perapian.
"Seharusnya aku tahu," keluhnya. "Dia melarikan diri!"
"Moriarty?"
"Mereka telah berhasil menangkap semua jaringannya, tapi dia sendiri lolos. Dia berhasil mengecoh para polisi itu. Tentu saja, begitu aku tak berada di negeri kita, tak ada yang sanggup menanganinya. Tapi waktu itu kupikir aku sudah mengatur semuanya untuk mereka, dan mereka hanya tinggal bertindak saja. Kurasa sebaiknya kau kembali ke Inggris, Watson."
"Kenapa?"
"Karena kini jiwamu akan ikut terancam, kalau kau berada di dekatku. Orang itu sudah kehilangan pekerjaan, dan dia akan ditangkap kalau kembali ke London. Kalau dugaanku benar, dia kini akan berupaya semaksimal mungkin untuk membalas dendam kepadaku. Dia mengancamku demikian waktu dia berkunjung ke tempatku dulu itu. Dan kurasa dia tak main-main. Maka, kumohon kau kembali praktek lagi saja."
Kalau Anda menjadi teman karibnya, tegakah Anda meninggalkannya dalam keadaan terancam demikian? Kami duduk di sebuah rumah makan di Strasbourg dan bertengkar soal ini selama setengah jam, tapi akhirnya kami berdua melanjutkan perjalanan ke Jenewa.
Selama seminggu yang menggembirakan kami berjalan-jalan di Bukit Rhone, kemudian membelok ke Leuk, lalu ke Gemmi Pass yang masih bersalju tebal. Kami terus melewati Interlaken, dan menuju ke Meiringen. Perjalanan kami menyenangkan. Saat itu kalau kami melayangkan pandangan ke bawah, tampaklah hamparan musim semi yang menghijau dengan indahnya, sedangkan kalau kami melihat ke atas, tampaklah hamparan putih musim dingin. Tapi pikiran Holmes terus menerawang. Waktu kami berada di desa di kaki Pegunungan Alpen atau ketika kami sedang di daerah pegunungan yang sepi, matanya selalu memperhatikan setiap orang yang kami jumpai dengan tajam. Dia begitu yakinnya, bahwa ke mana pun kami pergi, bahaya senantiasa menguntit langkah-langkah kami.
Aku teringat, pada suatu saat ketika kami baru saja melewati perbatasan Gemmi, dan sedang berjalan memasuki daerah Daubensee, sebuah batu besar menggelinding dari bukit di sebelah kanan jalan dan nyelonong masuk ke danau di belakang kami. Dalam sekejap, Holmes langsung berlari ke lereng itu dan melongok-longok ke semua arah. Percuma saja pemandu kami menjamin bahwa jatuhnya batu semacam itu sering terjadi pada musim semi seperti saat ini di tempat itu. Dia terdiam, tapi dia tersenyum ke arahku dengan gaya seseorang yang telah membuktikan kebenaran dugaannya.
Dan, toh, dia tak merasa tertekan walaupun dia sedang dalam keadaan waspada begitu. Sebaliknya, belum pernah kulihat dia dalam keadaan yang sedemikian gembira. Berkali-kali dia mengulang ucapannya bahwa nanti kalau masyarakat benar-benar terbebas dari Profesor Moriarty, dengan senang hati dia akan mengakhiri kariernya
"Paling tidak bisa kukatakan, Watson, bahwa hidupku tidak sia-sia belaka komentarnya. Seandainya catatan mengenai penyelidikanku berakhir nanti malam, aku masih bisa meninjaunya kembali dengan tenang. London telah menjadi tempat yang lebih menyenangkan karena kehadiranku. Lebih dari seribu kasus pernah kutangani, dan rasanya aku tak pernah memakai kemampuanku secara tidak benar. Akhir-akhir ini, aku lebih suka melihat masalah-masalah yang alamiah daripada masalah-masalah sepele yang disebabkan oleh keadaan masyarakat yang serba palsu. Catatanmu akan berakhir, Watson, kalau harinya tiba ketika aku menghentikan karierku dengan tertangkapnya atau tewasnya penjahat paling berbahaya dan paling cerdik di Eropa."
Biarlah kusingkat saja kisah ini, tanpa menyimpang dari fakta yang sebenarnya. Aku sebenarnya tak ingin menceritakan kisah ini, tapi aku sadar, aku harus melakukannya tanpa menyisakan setitik detail pun.
Waktu itu tanggal 3 Mei, ketika kami sampai di desa kecil bernama Meiringen. Kami menginap di sebuah penginapan yang dikelola oleh si tua Peter Steiler. Pemilik penginapan itu cerdik, dan bisa berbahasa Inggris dengan baik, karena dulu pernah bekerja selama tiga tahun di Hotel Grosvenor, di London. Atas sarannya, pada sore hari tanggal 4 Mei kami berdua pergi untuk mendaki perbukitan dan akan menginap di desa kecil bernama Rosenlaui. Kami telah diperingatkan supaya kalau kami mau lewat Air Terjun Reichenbach, yang letaknya kira-kira di tengah tengah perbukitan itu, kami harus melewati jalan yang mengitari air terjun itu.
Tempat itu memang mengerikan. Semburan airnya deras sekali, ditambah dengan cairnya salju jatuh memecah ke jurang yang amat dalam dan luas, membentuk semburan-semburan yang bergulung-gulung naik ke atas bagaikan asap dari sebuah rumah yang sedang terbakar. Semburan air itu lalu masuk ke sebuah terowongan raksasa yang pinggirnya terbuat dari batu-batuan gelap yang berkilauan. Terowongan yang kedalamannya tak bisa diukur dan mengecil di bagian belakangnya ini dipenuhi oleh luapan air yang memecah-mecah ke arahnya sehingga membentuk gerigi pada bibir terowongan itu. Limpahan air berwarna kehijau-hijauan yang terus-menerus tumpah ke bawah dengan suara menderu-deru itu, dan pekikan pecahan-pecahan air yang balik menyembur ke atas, membuat orang merasa bergidik dan pusing. Kami berdiri di sebuah sudut sambil menatap air terjun di bawah sana, nun di kejauhan. Terdengar oleh kami pantulan gemuruh air terjun itu yang berasal dari arah jurang
Jalan yang mengitari air terjun itu terputus di tengah-tengahnya, agar orang bisa melihat air terjun itu secara menyeluruh. Tapi jalan itu tiba-tiba berakhir, sehingga kami harus membalik kalau mau meninggalkan tempat itu. Setelah puas dengan apa yang kami lihat, kami pun berbalik untuk meninggalkan tempat itu, namun seorang bocah berkebangsaan Swiss berlari ke arah kami dengan membawa sepucuk surat di tangannya. Kertas suratnya adalah kertas surat hotel yang baru saja kami tinggalkan, dan dialamatkan kepadaku. Pengirimnya adalah pemilik hotel itu. Rupanya, beberapa menit setelah kami berangkat, seorang wanita Inggris tiba pula di hotel itu dalam keadaan sakit parah. Dia baru saja menghabiskan musim dingin di Davos Platz, dan sedang dalam perjalanan untuk menemui temannya di Lucern. Tapi tiba-tiba dia mengalami perdarahan hebat. Nampaknya dia takkan bertahan hidup lebih lama lagi, tapi alangkah baiknya kalau dia bisa mendapat pertolongan dari seorang dokter Inggris, dan aku dimohon untuk kembali ke hotel itu dan menolongnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Steiler yang baik hati itu menambahkan sebuah catatan kaki yang mengatakan bahwa dia akan sangat menghargai kehadiranku, karena wanita itu menolak untuk dibawa ke dokter setempat, padahal dia merasa bertanggung jawab.
Kita tak bisa menyepelekan permintaan semacam itu, bukan? Tak mungkin kita bisa menolak memberi pertolongan pada seorang wanita setanah air yang sedang sekarat di negeri orang. Sebaliknya, aku pun merasa berat untuk berpisah dari Holmes. Tapi akhirnya kami mencapai kata sepakat. Holmes akan melanjutkan perjalanan dengan ditemani bocah Swiss itu sebagai pemandu, sedangkan aku akan kembali ke Meiringen. Temanku itu ingin tinggal lebih lama lagi untuk menikmati air terjun itu, begitu katanya, dan sesudah itu ia akan berjalan pelan-pelan mendaki bukit menuju Rosenlaui. Aku akan menyusulnya di sana. Ketika aku meninggalkannya, aku sempat menoleh ke arahnya. Kulihat dia sedang bersandar pada sebuah batu, tangannya menyilang, sambil menatap deru air di bawahnya. Itulah untuk terakhir kalinya kulihat dia berada di dunia ini.
Ketika aku sudah hampir sampai di bawah bukit, aku menengok kembali. Tapi dari situ air terjun tadi sudah tak nampak lagi. Yang nampak olehku hanyalah jalan yang berkelok di punggung bukit yang menuju ke air terjun itu. Seingatku, aku melihat seorang pria sedang berjalan dengan bergegas di jalan itu. Sosoknya yang gelap terlihat dengan jelas dalam latar belakang yang serba hijau itu. Aku memperhatikannya dan tertarik pada ketergesaannya itu, tapi aku segera melupakannya begitu aku bergegas memenuhi panggilanku.
Lebih dari satu jam kemudian barulah aku sampai di Meiringen. Pak tua Steiler sedang berdiri di serambi depan hotelnya.
"Yah," kataku sambil bergegas menemuinya, "semoga wanita itu tak semakin buruk keadaannya."
Dia agak terkejut, dan ketika dia mulai menggerak-gerakkan alisnya, jantungku pun serasa mau berhenti berdetak.
"Bukan Anda yang menulis surat ini?" tanyaku sambil menunjukkan surat yang kuambil dari sakuku. "Tak ada wanita yang sedang sakit parah di hotel ini?"
"Tidak ada," teriaknya. "Tapi, kok, pakai kertas surat hotel ini! Ha! Pasti orang Inggris yang jangkung tadi, yang kemari setelah Anda berdua berangkat. Dia mengatakan..."
Aku tak memerlukan penjelasan pemilik hotel itu lagi. Dengan penuh ketakutan aku segera berlari menuju jalan yang baru saja kuturuni tadi. Waktu turun tadi aku membutuhkan waktu satu jam. Walaupun aku telah berusaha sekuat tenaga, perjalananku kembali naik ke atas sampai tiba di Air Terjun Reichenbach ini memakan waktu dua jam. Tongkat penyangga milik Holmes kulihat masih tersandar di batu yang disandari temanku tadi.
Tapi dia tak kelihatan. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi sia-sia. Hanya pantulan teriakanku dari jurang-jurang di sekelilingku yang terdengar sebagai balasannya.
Tongkat temanku itu membuatku takut dan sedih. Itu berarti, dia belum sempat pergi ke Rosenlaui. Saat musuhnya menghampirinya, dia masih berada di jalanan sempit ini, yang salah satu sisinya berpagarkan dinding batu yang terjal dan sisi lainnya jurang yang curam. Bocah yang mengantar surat tadi pun tak kelihatan. Dia mungkin orang upahan Moriarty, dan begitu kedua orang itu bertemu, dia lalu diminta untuk pergi. Lalu apa yang terjadi? Siapa yang bisa menjelaskan apa yang telah terjadi?
Aku berdiri sambil termenung sejenak untuk menenangkan diri, karena ketakutan telah memenuhi diriku. Lalu aku mulai menggunakan metode Holmes untuk mencoba memahami tragedi yang menimpa kami ini. Ternyata kesimpulannya mudah saja; Holmes telah tiada! Waktu kami bercakap-cakap tadi, kami belum sampai di ujung jalanan ini, dan persis di tempat tongkatnya berada itulah kami berdiri. Tanah di bawahnya yang kehitaman senantiasa dalam keadaan gembur, karena terus terusan terkena cipratan semburan air, sehingga jejak kaki burung pun akan terlihat dengan jelas sekali. Dua alur jejak kaki terlihat di depanku, menuju ke air terjun, tapi tak ada jejak kaki ke arah yang berlawanan. Beberapa meter di akhir jalanan itu, tanahnya malah sudah jadi lumpur bekas terinjak-injak, serta semak-semak dan paku-pakuan yang tumbuh di sepanjang pinggiran jurang itu terserak-serak dan bercampur baur dengan lumpur. Aku menelungkup-dan mengamati daerah sekitar situ dengan saksama. Cipratan air langsung membasahi sekujur badanku. Hari sudah mulai gelap, dan yang tampak olehku hanyalah kemilau air pada dinding-dinding yang menghitam di sekitar situ, serta air terjun di bawah sana, nun di kejauhan. Aku berteriak-teriak memanggil temanku; tapi, seperti sebelumnya tadi, cuma gaung suaraku yang kembali terdengar.
Tapi rupanya bisa juga aku memperoleh salam perpisahan dari sobat kental dan rekan seperjuanganku ini. Tadi kukatakan bahwa tongkatnya tertinggal di batu yang menjorok di pinggir jalanan itu. Tiba-tiba, ada sesuatu yang berkilauan di atas batu ini, dan ketika kuraih benda itu, ternyata kotak rokok perak milik temanku. Ketika kotak itu kuambil, sepucuk surat yang terletak di bawah kotak rokok itu melayang jatuh. Ketika kubuka surat yang tertulis pada tiga lembar buku notes temanku itu, ternyata kepadakulah surat itu dialamatkan. Begitulah ciri seseorang yang terbiasa melakukan segala sesuatu dengan cermat. Tulisannya jelas dan rapi, seolah-olah waktu menuliskan nya, dia sedang dalam keadaan santai di ruang bacanya.
Sobatku Watson, katanya,
Aku menulis surat ini atas kebaikan hati Mr. Moriarty yang bersedia memberiku waktu sejenak sebelum kami membicarakan masalah yang ada di antara kami. Dia telah menceritakan padaku bagaimana caranya sampai dia bisa meloloskan diri dari polisi Inggris dan bagaimana dia tahu di mana kita berada. Aku benar-benar salut atas kemampuannya. Aku merasa gembira, karena sebentar lagi aku akan membebaskan masyarakat kita dari cengkeramannya, walaupun dengan harga yang sangat mahal yang mungkin akan membuat sedih hati teman-temanku, khususnya engkau, sobatku Watson. Tapi, aku kan pernah mengatakan padamu, bahwa karierku sudah mencapai garis akhir, dan aku senang sekali karena dengan cara beginilah karierku berakhir. Perkenankanlah aku mengaku padamu, sebenarnya aku sudah yakin bahwa surat dari Meiringen yang memintamu kembali ke sana itu palsu, tapi aku mendiamkan hal ini supaya kau bisa segera meninggalkanku, karena aku sudah mencium apa yang bakal terjadi di sini. Tolong katakan pada Inspektur Patterson bahwa surat-surat yang diperlukannya sebagai bukti untuk menghukum komplotan ini di pengadilan dapat diambilnya di kotak surat bertanda M, dalam amplop biru dengan tulisan "Moriarty''. Aku sudah mengurus harta milikku sebelum meninggalkan Inggris, dan semuanya kuwariskan pada kakakku Mycroft. Sampaikan salamku kepada Mrs. Watson, dan percayalah, kau adalah satu-satunya sobatku yang sejati.
Salamku, Sherlock Holmes.
Kisah selanjutnya hanya pendek saja. Penyelidikan yang dilakukan meyakinkan dugaanku yaitu telah terjadi perkelahian antara kedua orang itu, yang menyebabkan keduanya jatuh ke dalam jurang. Upaya pencarian tubuh mereka tak menghasilkan apa-apa, dan rupanya di bawah sanalah, di kawah yang dipenuhi air yang bergulung-gulung dengan ganasnya itulah, terkubur tubuh penjahat paling berbahaya dan tubuh pahlawan penegak hukum terbaik pada zaman itu, untuk selama-lamanya. Bocah Swiss yang mengantarkan surat padaku itu tak pernah ditemukan jejaknya. Dia itu pastilah salah satu dari begitu banyak agen yang dipekerjakan oleh Moriarty. Sedangkan sehubungan dengan komplotan yang dikendalikan oleh Moriarty itu, masyarakat kami tak akan pernah melupakan jasa-jasa sahabatku Holmes yang telah berhasil mengumpulkan dan meninggalkan kepada kami bukti-bukti tentang praktek-praktek kejahatan mereka, yang semuanya terpaparkan di pengadilan. Sayang peranan Moriarty sendiri tak banyak terungkap dalam persidangan, dan akhir-akhir ini ada beberapa orang yang mencoba membersihkan nama penjahat itu dengan balik menyerang Holmes. Kuharap fakta yang telah kutuangkan dalam tulisan ini dapat membuka mata umum, agar tak keliru menilai Sherlock Holmes—orang paling bijaksana dan paling baik hati yang pernah ku kenal di dunia ini.

Silver blaze - Sherlock Holmes


"KURASA, Watson, aku harus pergi," kata Holmes pada suatu pagi ketika kami sedang duduk menikmati sarapan.
"Pergi! Ke mana?"
"Ke Dartmoor, ke King's Pyland."
Aku tidak terkejut mendengarnya. Justru aku akan merasa heran kalau dia sampai tak terpengaruh oleh kasus yang luar biasa ini, yang telah menjadi topik pembicaraan hangat di seluruh Inggris. Sepanjang hari sebelumnya temanku berjalan mondar-mandir di ruangan kami dengan dagu tertekuk sampai ke dada dan kedua alis menyatu, sambil tak henti-hentinya mengisi dan mengisi lagi pipanya dengan tembakau hitam yang paling kuat. Telinganya benar-benar tuli terhadap semua pertanyaan atau komentar yang kuajukan. Semua koran edisi terbaru yang tiba cuma ditengoknya sejenak, lalu dilemparnya ke sudut ruangan. Tapi, walaupun dia diam seribu bahasa, aku tahu pasti apa yang sedang dipikirkannya. Saat ini, hanya ada satu kasus di masyarakat yang mampu menantang kemampuan analisisnya, yaitu lenyapnya secara aneh kuda pacuan favorit yang dijagokan dalam perlombaan memperebutkan Piala Wessex, dan pembunuhan tragis terhadap pelatihnya. Itulah sebabnya, aku sudah menduga dan mengharapkan dia akan pergi ke tempat kejadian.
"Dengan senang hati aku akan menemanimu kalau kau tak keberatan," kataku
"Sobatku Watson, keikutsertaanmu akan sangat menolongku. Dan kurasa waktumu tak akan terbuang dengan sia-sia, karena ada hal-hal sehubungan dengan kasus ini yang kelihatannya sangat unik. Kurasa kita masih keburu untuk naik kereta api dari Paddington, dan aku akan mempelajari kasus ini dengan lebih saksama selama perjalanan nanti. Tolong kaubawa teropongmu yang akan amat berguna di lapangan nantinya."
Dan begitulah, kira-kira satu jam kemudian aku sudah berada di dalam kereta api kelas satu menuju Exeter, sementara Sherlock Holmes yang berwajah lancip dan penuh rasa ingin tahu itu terbungkus dalam jaket yang biasa dipakainya kalau sedang bepergian, yang menutupi kedua telinganya. Dia segera asyik memeriksa koran-koran terbaru yang didapatnya di Paddington. Kami sudah melewati Reading ketika dia akhirnya melemparkan koran yang terakhir dibacanya ke bawah tempat duduknya, lalu menawarkan cerutu kepadaku.
"Perjalanan kita ini menyenangkan," katanya sambil menatap ke luar jendela, lalu melihat jam tangannya. "Kecepatan kereta ini delapan puluh lima setengah kilometer per jam."
"Aku kok tak melihat tanda yang biasanya ada pada tiap setengah kilometer di jalanan," kataku.
"Aku juga tak melihatnya. Tapi tiang telegraf sepanjang jalan ini jaraknya masing-masing enam puluh meter, jadi menghitungnya mudah, kan? Kukira kau sudah membaca tentang kasus pembunuhan John Straker dan lenyapnya kuda pacuan bernama Silver Blaze?"
"Aku hanya membaca beritanya dari Telegraph dan Chronicle."
"Ini salah satu kasus di mana kemampuan penyelidikan seseorang harus lebih banyak dipakai untuk menyaring rincian-rincian daripada untuk mendapatkan bukti-bukti nyata. Tragedi ini tak umum terjadi, begitu komplet, dan menyangkut kepentingan banyak orang, sehingga kita dihadapkan pada perkiraan-perkiraan, dugaan-dugaan, dan hipotesis-hipotesis yang luar biasa banyaknya. Kesulitannya terletak pada bagaimana merumuskan kerangka kejadiannya—dan yang jelas tak bisa disangkal lagi—dari teori-teori begitu banyak orang dan wartawan yang sudah ditambah-tambahi di sana-sini. Lalu, kalau kita sudah mendapatkan dasar yang kuat, kita harus melihat kesimpulan-kesimpulan apa yang bisa ditarik, dan hal-hal khusus apa yang menyangkut misteri ini. Pada hari Selasa malam yang lalu, aku menerima dua telegram. Satu dari Kolonel Ross, pemilik kuda itu, dan satunya lagi dari Inspektur Gregory, yang sedang menangani kasus ini, dengan maksud mengajakku bekerja sama."
"Selasa malam yang lalu!" seruku. "Padahal sekarang sudah Kamis pagi. Kenapa kau tak pergi untuk menyelidikinya kemarin?"
"Karena aku telah melakukan kesalahan, sobatku Watson, yang harus kuakui lebih sering kulakukan dari apa yang bisa diduga orang yang cuma mengenalku dari kisah-kisah yang kautulis. Begini, aku berpendapat bahwa kuda pacuan yang sedemikian terkenalnya di Inggris ini tak mungkin bisa disembunyikan secara terus-menerus, terutama di tempat yang begitu jarang penduduknya di bagian utara Dartmoor. Seharian kemarin aku mengharap untuk mendengar kabar bahwa kuda itu sudah ditemukan, dan bahwa pencurinya adalah pembunuh John Straker. Tapi ketika sampai lewat sehari lagi tak ada kemajuan apa-apa kecuali penangkapan terhadap seorang pemuda bernama Fitzroy Simpson, aku merasa sudah saatnya aku bertindak. Tapi, dalam beberapa hal, aku merasa tak menyia-nyiakan waktuku seharian kemarin."
"Kalau begitu, kau sudah berhasil membuat sebuah teori, kan?"
"Paling tidak, aku sudah menemukan fakta-fakta penting dari kasus itu. Segera akan kujelaskan kepadamu satu per satu, karena penyelesaian suatu kasus tak akan menjadi jelas kalau tak disampaikan kepada orang lain, kan? Dan tentunya aku tak akan bisa bekerja sama denganmu kalau kau tak tahu dari mana kita memulai penyelidikan ini."
Aku menyandarkan punggungku kebantalan kursi sambil mengisap cerutu, sedangkan Holmes menyorongkan tubuhnya ke depan, telunjuk kanannya yang panjang dan kurus mencoret-coret beberapa rincian tulisan pada telapak tangan kirinya. Lalu dijelaskannya kerangka kejadian yang sedang kami selidiki yang menyebabkan kami harus bepergian saat ini.
"Silver Blaze," katanya, "adalah keturunan kuda jenis Isonomy yang amat masyhur kecerdasannya. Kuda itu kini berusia lima tahun dan selalu memenangkan lomba pacuan kuda. Kolonel Ross, pemiliknya, adalah orang yang sangat beruntung. Sampai saat terjadinya musibah itu, kuda itu merupakan favorit unggulan pertama dalam pacuan berikutnya untuk memperebutkan Piala Wessex. Pasar taruhan menjagoi dia dengan angka tiga lawan satu. Selama ini dia memang menjadi satu-satunya kuda favorit dalam lomba-lomba pacuan kuda dan tak pernah mengecewakan orang yang menjagoinya, sehingga orang tak merasa sayang untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang amat banyak untuk menjagoinya. Itulah sebabnya, jelas sekali bahwa ada pihak-pihak tertentu yang beusaha mencegah hadirnya Silver Blaze di perlombaan itu pada hari Selasa yang akan datang.
"Tentu saja hal ini disadari oleh penghuni King's Pyland, kandang milik Pak Kolonel yang sekaligus dilengkapi dengan tempat latihan untuk Silver Blaze. Tempat itu dijaga ketat. John Straker, sang pelatih, dulunya adalah joki yang selalu berlomba di bawah bendera Pak Kolonel, tapi kini dia sudah pensiun. Dia telah bekerja di tempat Pak Kolonel selama lima tahun sebagai joki, ditambah tujuh tahun sebagai pelatih kuda, dan selama ini selalu bersikap jujur dan setia. Dia membawahi tiga petugas kuda yang lebih muda, karena tempat itu tak seberapa besar, dan hanya berisi empat ekor kuda. Salah satu dari ketiga bawahannya ini tiap malam menjaga kandang secara bergantian, sementara rekan rekannya tidur di bagian atas kandang itu. Ketiganya orang baik-baik. John Straker, yang sudah menikah, tinggal secara terpisah di sebuah vila yang berjarak kira-kira dua ratus meter dari kandang. Dia tak dikaruniai anak, cuma punya seorang pelayan wanita, dan kehidupannya serba kecukupan. Pedesaan di sekeliling kandang itu sangat sepi, tapi kira-kira tiga perempat kilometer ke utara, ada sekelompok vila yang dibangun oleh kontraktor bernama Tavistock, dan dihuni oleh para penyandang cacat, dan orang-orang yang ingin menikmati udara Dartmoor yang segar. Kantor kontraktor Tavistock terletak kira-kira satu setengah kilometer ke arah barat, sedangkan di seberang padang, juga kira-kira dalam jarak satu setengah kilometer, terletak kandang dan tempat latihan kuda bernama Capleton, yang dimiliki oleh Lord Blackwater dan dijalankan oleh Silas Brown. Bagian lain padang itu dipenuhi hutan belantara, yang hanya dihuni oleh beberapa gipsi yang sering berpindah-pindah tempat. Begitulah keadaannya pada Senin malam yang lalu, ketika musibah itu terjadi.
"Pada malam itu, setelah kuda-kuda dilatih dan dimandikan sebagaimana biasanya, kandang pun dikunci pada jam sembilan malam. Dua dari petugas kandang lalu berjalan menuju rumah pelatih untuk makan malam, sedangkan petugas yang satunya, Ned Hunter, tinggal di kandang untuk berjaga. Beberapa menit setelah jam sembilan, pelayan si pelatih, Edith Baxter, pergi ke kandang untuk mengirim makan malam bagi petugas yang sedang jaga. Menu makan malam itu terdiri atas kare daging sapi muda, tapi tanpa air minurn karena ada keran air di kandang. Dan menurut peraturan, petugas kuda hanya boleh minum dari situ, mereka tak diizinkan membawa minuman lain dari luar. Pelayan wanita itu membawa lentera, karena di luar sangat gelap dan dia harus menyeberangi padang.
"Edith Baxter berada kira-kira tiga puluh meter dari kandang ketika dia melihat seorang pria muncul dari kegelapan dan menyuruhnya berhenti. Ketika dia mengarahkan lenteranya ke asal suara itu, dia melihat bahwa pria itu cukup sopan, mengenakan setelan jas wol abu-abu dilengkapi dengan topi kain. Dia mengenakan penutup kaki dan memegang tongkat. Tapi yang paling menarik perhatian si pelayan adalah wajahnya yang amat pucat dan sikapnya yang sangat gelisah. Menurut perkiraannya, umur pria itu lebih dari tiga puluh tahun.
"'Tolong tanya, berada di manakah saya ini?' tanyanya. 'Tadi saya sudah mcmutuskan untuk tidur di padang ketika saya lalu melihat cahaya lentera Anda.'
'"Anda berada di dekat kandang latihan kuda King's Pyland,' wanita itu menjawab.
"'Oh, benarkah? Betapa mujurnya saya!' teriaknya. 'Saya tahu bahwa ada seorang petugas kuda yang menjaga kandang itu sendirian tiap malam. Mungkin yang Anda bawa itu untuk makan malamnya. Nah, saya yakin Anda tak akan menolak imbalan senilai harga sebuah gaun baru, kan?' Dari kantong sabuk pinggangnya, dia mengeluarkan secarik kertas putih yang terlipat. 'Berikan ini kepada petugas kuda yang sedang jaga malam, dan Anda akan mampu membeli gaun paling mahal sekalipun.'
"Sikapnya begitu mendesak sehingga sang pelayan ketakutan. Dia berlari meninggalkan laki-laki itu menuju jendela yang biasa dipakainya untuk menyerahkan makanan. Ternyata jendela itu sudah terbuka, dan Hunter sedang duduk di depan meja kecil di dalam sana. Dia lalu menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Tiba-tiba pria asing itu sudah muncul di hadapan mereka.
"'Selamat malam,' katanya sambil melongok dari jendela. 'Saya ingin berbicara dengan Anda.' Menurut pengakuan si pelayan, pria itu masih menggenggam kertas putih yang tadi dikeluarkannya.
"'Mau apa Anda datang kemari?' tanya petugas kuda.
"'Ada bisnis yang akan membuat tebal kantong Anda,' kata pria asing itu. 'Majikan Anda akan menyertakan dua kuda untuk Piala Wessex—Silver Blaze dan Bayard. Coba berikan informasi yang benar dan Anda tak akan rugi apa-apa. Betulkah pada lomba ketahanan Bayard bisa melampaui kuda-kuda lainnya sejauh seratus meter dalam lima kali lompatan, dan bahwa pemiliknya telah mempertaruhkan banyak uang untuknya?'
"'Jadi Anda ini salah satu dari makelar informasi, ya!' teriak petugas kuda itu. 'Akan saya tunjukkan bagaimana kami memperlakukan mereka di King's Pyland.' Dia melompat bangun dan berlari menyeberangi kandang untuk melepas anjing penjaga. Pelayan wanita segera kabur kembali ke rumah majikannya, tapi dia sempat menengok ke belakang, dan melihat orang asing itu masih bersandar di jendela. Tapi semenit kemudian, ketika Hunter berlari ke luar bersama anjing penjaga, orang asing itu sudah lenyap, dan dia tak berhasil menemukannya walaupun sudah dicarinya sekeliling bangunan bangunan di sekitar situ."
"Sebentar!" aku menyela. "Apakah petugas kuda itu membiarkan pintu kandang tak terkunci pada waktu dia berlari ke luar bersama anjing penjaga?"
"Hebat, Watson, hebat!" gumam temanku. "Hal itu begitu penting sehingga aku khusus mengirim telegram ke Dartmoor kemarin untuk menanyakannya. Ternyata petugas kuda tak lupa mengunci pintu kandang sebelum dia berlari ke luar. Dan, kutambahkan pula, jendela kandang itu terlalu kecil untuk diterobos oleh badan orang.
"Hunter menunggu sampai rekan-rekannya sesama petugas kuda kembali ke kandang. Lalu dia mengabari pelatih tentang apa yang telah terjadi. Straker terkejut mendengarnya, walau dia nampaknya tak begitu mengerti apa artinya semua itu. Pokoknya, dia pun menjadi agak gelisah. Istrinya terbangun pada jam satu dini hari dan dilihatnya suaminya sedang mengenakan pakaian. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab bahwa dia tak bisa tidur karena mengkhawatirkan keadaan kuda-kuda di kandang, dan bahwa dia mau pergi ke kandang untuk memeriksa. Istrinya memohon agar dia tak usah pergi saja, karena di luar hujan turun dengan amat lebatnya, tapi dia tak mengindahkan larangan istrinya itu. Dikenakannya jas hujannya yang panjang, dan dia pun lalu meninggalkan rumahnya.
"Mrs. Straker bangun keesokan harinya pada jam tujuh pagi, dan ternyata suaminya belum juga pulang. Dia bergegas berpakaian, memanggil pelayan wanitanya, lalu menuju ke kandang. Pintu kandang dalam keadaan terbuka, dan di dalamnya terlihat Hunter meringkuk di kursi dalam keadaan tak sadarkan diri. Kuda jagoan Silver Blaze tak ada di kandangnya lagi, dan pelatihnya juga tak ada di situ.
"Dua petugas kuda lainnya yang tidur di bagian atas ruang perlengkapan segera dibangunkan. Mereka mengaku tak mendengar apa-apa semalaman, karena mereka memang jagoan tidur. Hunter jelas telah dibius, dan karena dia tak bisa dimintai keterangan apa-apa, dia pun dibiarkan saja teler begitu. Kedua petugas kuda lainnya bersama kedua wanita itu lalu berlari ke luar untuk mencari Pak Pelatih. Waktu itu mereka masih berharap bahwa dia sedang keluar untuk melatih Silver Blaze, walaupun hari masih begitu pagi. Tapi ketika mereka mendaki bukit kecil di dekat rumah, dari mana terlihat seluruh daerah itu, mereka tak melihat jejak Silver Blaze. Mereka mulai mencium terjadinya suatu tragedi.
"Kira-kira setengah kilometer dari kandang, mereka menemukan jaket John Straker tersangkut di semak-semak. Tak jauh dari situ ada lekukan tanah berbentuk mangkuk, dan di bagian bawahnya ditemukan mayat pelatih yang malang itu. Kepalanya pecah akibat pukulan yang amat dahsyat dengan menggunakan alat yang sangat berat. Pahanya juga terluka, lukanya panjang dan bersih, jelas karena sabetan senjata yang sangat tajam. Jelas pula bahwa Straker telah berusaha berjuang membela dirinya melawan penyerang-penyerangnya, karena di tangan kanannya terselip pisau kecil yang berlumuran darah sampai ke pegangannya. Tangan kirinya menggenggam syal sutera merah-hitam yang dikenali oleh pelayan wanita sebagai milik orang asing yang mendatangi kandang tadi malam.
"Setelah siuman dari telernya, Hunter juga membenarkan hal itu. Dia juga yakin bahwa orang asing yang sama itulah yang telah menuangkan obat bius ke makan malamnya. Jadi, tadi malam itu, kandang praktis dalam keadaan tak terjaga.
"Sehubungan dengan kuda yang hilang, dapat disimpulkan dari lumpur yang ada di tempat kejadian perkara bahwa ia hadir ketika Pak Pelatih melawan para penyerangnya. Tapi ia kini lenyap, dan walaupun disediakan hadiah uang dalam jumlah banyak bagi siapa yang bisa menemukan kuda itu, dan juga para gipsi yang berkeliaran di sekitar Dartmoor telah diberitahu, tak ada kabar berita apa pun tentang kuda itu. Sisa makan malam petugas kuda dianalisis, dan ternyata memang mengandung bubuk opium dalam jumlah yang cukup banyak. Sedangkan para penghuni rumah lainnya yang malam itu juga makan menu yang sama, tak mengalami efek apa-apa.
"Begitulah fakta-fakta utama kasus ini, yang kusimpulkan dari pendapat berbagai orang. Sekarang, aku ingin menjelaskan apa yang telah dilakukan polisi.
"Inspektur Gregory yang dipercayai untuk menangani kasus ini adalah seorang polisi yang amat andal. Kalau saja dia memiliki imajinasi, pastilah kedudukannya akan melambung tinggi. Begitu sampai di tempat kejadian, dia langsung mengejar dan menangkap orang yang dicurigai. Tak susah untuk menemukan orang itu, karena dia cukup dikenal di daerah itu. Namanya Fitzroy Simpson. Orang ini berasal dari keluarga baik-baik dan cukup terpelajar, namun telah menghabiskan uangnya dengan bertaruh di pacuan-pacuan kuda. Sekarang dia menghidupi dirinya dengan menyelenggarakan taruhan kecil-kecilan di klub-klub olahraga London. Ketika buku taruhannya diteliti, ternyata dia telah menutup taruhan sebanyak lima ribu pound untuk kekalahan Silver Blaze.
"Ketika ditangkap, dia membenarkan pernyataan bahwa dia mengunjungi Dartmoor malam sebelumnya dengan maksud mendapatkan informasi tentang kuda-kuda di King's Pyland, dan juga tentang Desborough yang dijagokan di tempat kedua, kuda asuhan Silas Brown dari Capleton. Dia tidak memungkiri bahwa dia telah melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, tapi dia menyatakan bahwa dia tak punya tujuan jahat dan hanya ingin mendapatkan informasi secara langsung. Ketika diperlihatkan syalnya, dia menjadi sangat pucat, dan tak bisa menjelaskan bagaimana syal, itu bisa berada dalam genggaman tangan orang yang terbunuh itu. Pakaiannya yang basah menunjukkan bahwa dia memang berkeliaran di bawah hujan lebat semalam, dan tongkatnya yang bentuknya persis seperti tongkat pengacara yang berlapis baja, cocok dengan bekas luka yang terdapat pada mayat korban.
"Sebaliknya, tertuduh ini tak terluka sedikit pun, padahal pisau di tangan Straker menunjukkan bahwa paling tidak salah satu penyerangnya terluka. Begitulah kisahnya, Watson, dan kalau kau bisa memberikan secercah titik terang saja, aku akan sangat berterima kasih."
Aku mendengarkan dengan penuh minat selama Holmes memaparkan semua ini di hadapanku dengan begitu jelasnya sebagaimana biasa dilakukannya. Walaupun sebagian besar faktanya telah kuketahui, sebelum ini aku tak bisa mengaitkan kepentingan-kepentingannya dan juga hubungannya satu sama lain.
"Apakah tak mungkin," saranku, "bahwa luka-luka irisan pada tubuh Straker disebabkan oleh pisaunya sendiri ketika sedang melakukan perlawanan, sebagai akibat dari luka yang diderita oleh otaknya?"
"Bukan cuma mungkin; malah bisa jadi begitu," kata Holmes. "Dengan demikian lenyaplah salah satu hal yang meringankan tersangka."
"Dan, toh," kataku, "sampai sekarang aku masih tak mengerti bagaimana pendapat polisi."
"Kurasa, apa pun pendapat yang bisa kita kemukakan ada kelemahannya," jawab temanku "Aku yakin, polisi pasti memperkirakan bahwa setelah si Fitzroy Simpson ini membius tukang kuda, dan membuka kandang dengan kunci palsu, dia lalu menculik kuda itu. Tali kekangnya juga hilang, berarti telah diambil pula oleh Simpson dan dipasangnya. Lalu setelah meninggalkan kandang dengan pintunya terbuka, dia menuntun kuda itu melewati lapangan depan, di mana dia lalu bertemu atau lebih tepatnya kepergok oleh Pak Pelatih. Kejadian berikutnya bisa diduga dengan jelas. Simpson memukul kepala Pak Pelatih dengan tongkatnya yang berat, tapi dia sendiri tak terluka oleh pisau Straker. Simpson kemudian menyembunyikan kuda itu, atau bisa juga sang kuda berhasil lolos selama perkelahian berlangsung dan sekarang sedang berkeliaran entah di mana. Begitulah dugaan polisi, walau nampaknya kecil kemungkinannya. Tapi teori-teori lain malah lebih kecil lagi kemungkinannya. Pokoknya, aku perlu menguji kebenarannya dulu sesampainya di tempat kejadian, dan sementara ini aku tak bisa berbicara lebih jauh lagi."
Hari telah malam ketika kami tiba di kota kecil Tavistock yang letaknya menonjol di antara sekelilingnya, karena tepat di tengah tengah daerah Dartmoor. Dua pria menyambut kedatangan kami di stasiun—satunya tinggi dan kulitnya berwarna terang, tapi rambut dan janggutnya bagaikan singa, sedangkan matanya yang penuh pancaran rasa ingin tahu berwarna biru muda. Pria yang satunya lagi agak kecil dan sikapnya waspada, sangat rapi dan necis, mengenakan jas panjang lengkap dengan penutup kaki, dan ada cambang tipis di kedua sisi wajahnya yang memakai kacamata. Yang disebut belakangan ini adalah Kolonel Ross, seorang olahragawan yang terkenal; dan satunya lagi Inspektur Gregory, yang karier detektifnya sedang menanjak dengan pesat di Inggris.
"Senang sekali Anda bisa datang. Mr. Holmes," kata Pak Kolonel. "Pak Inspektur sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi saya ingin lebih menuntaskan semuanya demi almarhum Straker yang malang dan juga agar kuda saya bisa ditemukan."
"Apakah ada perkembangan baru?" tanya Holmes.
"Sayang sekali kami hanya mengalami sedikit kemajuan," kata Pak Inspektur. "Kami menyediakan kereta terbuka di luar, dan karena Anda tentunya ingin segera menuju tempat kejadian sebelum larut malam, mari kita bicarakan hal itu lebih lanjut dalam perjalanan ke sana."
Semenit kemudian, kami sudah berada dalam sebuah kereta yang nyaman melewati kota kuno Devonshire yang menarik. Inspektur Gregory langsung berbicara panjang-lebar tentang kasus yang sedang ditanganinya, sedangkan Holmes kadang-kadang menyelanya dengan beberapa pertanyaan dan komentar. Kolonel Ross duduk menyandar, kedua tangannya terlipat ke dadanya, dan topinya menutupi kedua matanya. Aku mendengarkan pembicaraan kedua detektif itu dengan penuh perhatian. Gregory sedang mengemukakan teorinya, yang ternyata persis dengan apa yang diramalkan Holmes di dalam perjalanan kami tadi.
"Tertuduhnya mengarah ke Fitzroy Simpson," komentarnya, "dan saya sendiri yakin dialah pelakunya. Tapi, pada saat yang sama, saya menyadari bahwa bukti bukti yang ada sementara ini benar-benar tergantung pada keadaan, dan teori ini bisa jadi lain kalau ada perkembangan baru."
"Bagaimana dengan pisau di tangan Straker?"
"Kami hampir sepakat bahwa dia telah melukai dirinya scndiri waktu itu."
"Teman saya Dr. Watson juga beranggapah demikian tadi. Kalau demikian, tuduhan justru akan memberatkan orang bernama Simpson itu."
"Jelas. Tak diketemukan pisau ataupun bekas luka padanya. Bukti yang memberatkannya amat kuat. Dialah yang mendapat keuntungan kalau kuda jagoan itu disingkirkan. Dialah yang dicurigai telah membius petugas kuda. Dia pergi keluar pada malam hujan lebat itu, membawa tongkatnya yang berat, dan syalnya ditemukan tergenggam di tangan korban. Saya yakin semua ini sudah cukup untuk dibawa ke pengadilan.
Holmes menggeleng. "Pengacara yang cerdik akan menggugurkan semua tuduhan itu," katanya. "Untuk apa dia mengeluarkan kuda itu dari kandangnya? Kalau dia cuma mau melukainya, tidakkah dia bisa di tempat itu? Apakah terbukti dia memiliki kunci palsu? Di toko obat mana dia membeli opium? Dan yang lebih penting dari semuanya, sebagai orang asing di daerah ini, di mana dia bisa menyembunyikan kuda curian yang istimewa itu? Bagaimana penjelasannya tentang kertas yang ingin diberikannya kepada petugas kuda melalui pelayan wanita?"
"Dia mengatakan itu uang kertas sepuluh pound, dan selembar memang ditemukan di dompetnya. Tapi kesulitan-kesulitan lainnya tak seberat kelihatannya. Dia bukan orang asing di daerah ini. Dia sudah pernah tinggal di Tavistock dua kali selama musim panas yang lalu. Opium itu mungkin dibawanya dari London. Kunci palsunya, setelah tak terpakai lagi, tentu langsung dibuangnya begitu saja. Kuda yang hilang itu mungkin disembunyikannya di bagian bawah terowongan atau di dalam tambang tua di padang belantara."
"Apa komentarnya tentang syal yang ditemukan tergenggam di tangan korban?"
"Dia mengakui bahwa syal itu miliknya, tapi katanya syal itu hilang sebelum kejadian tersebut. Tapi ada hal baru yang ditemukan sehubungan dengan kasus ini yang mungkin bisa menjelaskan mengapa dia mengambil kuda itu dari kandangnya."
Holmes memasang telinganya.
"Kami menemukan jejak-jejak sekelompok gipsi yang berkemah dalam jarak tiga perempat kilometer dari tempat kejadian pembunuhan pada hari Senin malam yang lalu. Keesokan harinya mereka sudah menghilang. Nah, misalkan saja telah terjalin kesepakatan antara Simpson dan para gipsi tadi, tak mungkinkah kuda itu dititipkan kepada mereka ketika dia kepergok dan mereka menyembunyikannya?"
"Mungkin saja."
"Padang belantara itu sedang dijelajahi dalam upaya memeriksa orang-orang gipsi. Juga perumahan di Tavistock. Pokoknya semua wilayah dalam radius enam belas kilometer."
"Setahu saya, ada kandang latihan kuda lain di sekitar itu, kan?"
"Ya, dan faktor itu pun tentu saja tak boleh kita kesampingkan. Kuda mereka, Desborough, dijagokan nomor dua dalam taruhan. Jadi mereka pun punya minat agar yang nomor satu disingkirkan saja. Silas Brown, pelatihnya, diketahui telah bertaruh banyak untuk pacuan mendatang ini, dan dia tak berteman baik dengan Straker yang malang. Kami sudah menyelidiki kandangnya, namun tak ada sesuatu pun yang bisa menyangkutkan dirinya dengan tragedi ini."
"Dan tak ada hubungan antara orang bernama Simpson ini dengan kepentingan-kepentingan Kandang Capleton?"
"Tak ada sama sekali."
Holmes menyandarkan punggungnya, dan percakapan berhenti sampai di situ. Beberapa menit kemudian, kusir kereta kami menghentikan keretanya di depan vila kecil bergenting merah yang atapnya menjuntai ke jalan raya. Di kejauhan, di seberang padang rumput terlihat sebuah bangunan lain bergenting abu-abu. Padang belantara yang ditumbuhi pepakuan berwarna perak pudar terhampar di sekitarnya, memanjang sampai ke cakrawala, terpotong hanya oleh dataran rendah Tavistock dan sekelompok rumah agak di sebelah barat yang merupakan Kandang Capleton. Kami semua lalu melompat turun kecuali Holmes. Dia masih tetap duduk menyandar dengan mata terpaku ke langit di depannya, terbenam dalam pemikirannya sendiri. Setelah kusentuh tangannya, barulah dia bangkit dengan sangat terkejut, lalu turun dari kereta.
"Maafkan saya," katanya sambil menoleh ke Kolonel Ross yang sedang menatapnya dengan terheran heran. "Saya asyik melamun tadi." Matanya bercahaya dan sikapnya menunjukkan adanya semangat tersembunyi. Maka aku pun yakinlah—sebab aku tahu betul kebiasaan-kebiasaannya— bahwa dia telah mendapatkan petunjuk, walaupun aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana dia mendapatkannya.
"Apakah Anda mau segera pergi ke lokasi pembunuhan, Mr. Holmes?" tanya Gregory.
"Saya rasa, saya lebih baik di sini dulu, dan akan menanyakan satu atau dua pertanyaan secara rinci. Mayat Straker ada di sini, kan?"
"Ya, di lantai atas. Pemeriksaan mayat akan dilakukan besok pagi."
"Dia sudah lama bekerja pada Anda, Kolonel Ross?"
"Ya, dan pegawai yang baik sekali."
"Saya rasa, Anda telah menggeledah isi sakunya pada saat mayatnya ditemukan, Inspektur?"
"Barang-barangnya ada di ruang tamu, kalau Anda ingin melihatnya."
"Dengan senang hati."
Kami semua menuju ruang depan dan duduk mengelilingi meja yang terletak di tengah ruangan, sementara Pak Inspektur membuka sebuah kotak persegi, mengeluarkan isinya, dan menaruhnya di hadapan kami. Ada sekotak korek api, sebatang lilin, pipa terbuat dari akar pohon berinisial A.D.P., sebungkus tembakau Cavendish yang panjang panjang irisannya, jam perak dengan rantai emas, lima koin emas, tempat pensil aluminium, beberapa carik kertas, dan sebilah pisau dengan pegangan terbuat dari gading yang mata pisaunya sangat tipis dan kaku buatan Weiss & Co., London.
"Pisau ini sangat unik," kata Holmes sambil mengangkat benda itu dan mengamatinya dengan saksama. "Saya rasa, karena ada bercak darah, pisau inilah yang ditemukan di genggaman mayat. Watson, bukankah pisau ini biasa dipakai di bidangmu?"
"Namanya pisau katarak," kataku.
"Kurasa begitulah. Mata pisaunya yang sangat tipis memang diperuntukkan bagi operasi-operasi yang sangat halus. Aneh sekali, untuk apa Pak Pelatih membawa pisau sehalus ini, padahal dia sedang menjalankan tugas yang cukup kasar dan pisaunya tak bisa dilipat?"
"Ujungnya dilapisi semacam penyumbat yang kami tcmukan di samping jenazah korban," kata Pak Inspektur. "Istrinya mengatakan bahwa sudah beberapa hari pisau tersebut tergeletak di meja rias, dan suaminya mengambil dan membawanya ketika hendak meninggalkan kamar. Memang pisau itu merupakan senjata yang tak memadai, tapi mungkin hanya itulah yang bisa disambarnya dengan cepat waktu itu."
"Sangat mungkin. Bagaimana dengan kertas kertas ini?"
"Tiga di antaranya adalah kuitansi dari penjual jerami. Yang lain surat perintah dari Kolonel Ross, dan yang terakhir kuitansi dari sebuah toko pakaian wanita bemilai 37,15 pound, ditandatangani oleh Madame Lesurier, dari Bond Street, untuk William Darbyshire. Mrs. Straker menjelaskan kepada kami bahwa Darbyshire adalah teman suaminya, dan kadang kadang surat temannya itu di alamatkan ke tempatnya
"Wah, selera Madame Darbyshire mahal benar," komentar Holmes sambil melirik kuitansi itu. "Dua puluh dua guinea untuk harga sehelai gaun saja sudah termasuk mahal. Tapi, rasanya tak ada yang bisa dipelajari lagi di sini, sekarang mari kita menuju ke lokasi pembunuhan."
Ketika kami keluar dari ruang tamu, seorang wanita yang telah menunggu di gang melangkah ke depan dan memegang lengan Pak Inspektur. Wajahnya kaku, kurus, dan penasaran, serta masih diliputi kengerian.
"Mereka sudah tertangkap? Mereka sudah tertangkap?" katanya dengan terengah-engah.
"Belum, Mrs. Straker. Tapi Mr. Holmes ini telah datang dari London untuk membantu kami, dan kami akan berupaya sekeras mungkin."
"Mrs. Straker, rasanya saya pernah bertemu Anda belum lama ini, pada sebuah pesta kebun di Plymouth, betulkah?" tanya Holmes.
"Tidak, sir, Anda pasti salah lihat."
"Wah! Saya berani bersumpah. Waktu itu Anda mengenakan gaun sutera berwarna lembut yang pinggirannya berhiaskan bulu burung unta "
"Saya tak pernah memiliki pakaian seperti itu, sir," jawab wanita itu.
"Ah, begitu, ya?" kata Holmes. Setelah meminta maaf, dia mengikuti Pak Inspektur keluar. Kami berjalan sebentar melewati padang belantara, lalu sampailah kami ke lubang tempat mayat itu ditemukan. Pinggirannya dipenuhi semak belukar, dan jaket korban ditemukan tersangkut di situ.
"Malam itu angin tak bertiup, ya?" tanya Holmes.
"Tidak, tapi hujannya lebat sekali."
"Kalau begitu, jaket itu tidaklah terbawa angin sehingga menyangkut di semak belukar, tapi sengaja ditaruh di situ oleh seseorang."
"Ya, ditaruh di semak belukar di seberang situ."
"Anda membuat saya penasaran. Tentunya tanah di sekitar sini telah diinjak-injak oleh banyak orang. Pasti banyak orang menengok tempat ini sejak hari Senin malam."
"Selembar tikar sebagai pembatas telah ditaruh di sekeliling tempat itu, dan orang tak diizinkan melewatinya."
"Bagus sekali."
"Di dalam tas ini, saya menyimpan salah satu sepatu bot yang dikenakan Straker waktu itu, satu sepatu Fitzroy Simpson, dan cetakan sepatu kuda milik Silver Blaze."
"Pak Inspektur, Anda hebat sekali!" Holmes mengambi tas itu, turun ke lubang, lalu mendorong tikar pembatas agak lebih menyempit. Lalu sambil membungkuk dan menyandarkan dagunya ke tangannya dia mulai memeriksa lumpur yang terinjak-injak di depannya.
"Hei!" katanya tiba-tiba. "Apa ini?"
Benda yang ditemukannya itu ternyata sebatang korek api yang sudah terbakar separonya, berlumuran lumpur sehingga nampak seperti serpihan kayu.
"Saya kok tak melihatnya sebelum ini, ya?" kata Pak Inspektur dengan resah.
"Memang tak terlihat karena tertutup lumpur. Saya melihatnya karena saya memang mencari-cari benda itu."
"Apa? Anda tahu benda itu ada di situ?"
"Saya punya dugaan kuat." Dia mengambil sepatu-sepatu yang ada di dalam tas dan mencocok cocokkannya dengan jejak yang ada di tanah. Dia lalu merangkak naik ke salah satu pinggiran lubang dan selanjutnya merangkak-rangkak di sekeliling tanaman pepakuan dan semak belukar
"Saya rasa tak ada lagi jejak yang bisa di telusuri," kata Pak Inspektur. "Saya sudah memeriksa tanah di sekitar sini dengan sangat saksama dalam radius seratus meter."
"Oh, ya?" kata Holmes sambil bangkil berdiri. "Kalau begitu sebaiknya saya menghargai upaya yang sudah Anda lakukan. Tapi saya ingin jalan-jalan mengelilingi padang belantara sejenak sebelum terlalu larut malam, supaya saya sudah mengenal medan yang harus saya selidiki besok pagi. Cetakan sepatu kuda ini saya bawa saja, ya, mungkin dia akan memberi saya keberuntungan."
Kolonel Ross, yang mulai merasa tak sabar dengan metode kerja temanku yang sistematis tapi tenang-tenang saja itu, menengok ke jam tangannya.
"Saya harap Anda kembali ke rumah bersama saya saja, Inspektur," katanya. "Saya membutuhkan saran Anda untuk beberapa hal, khususnya mengenai apakah tidak sebaiknya kita membatalkan nama Silver Blaze dari daftar peserta pacuan mendatang ini di depan umum."
"Jangan," teriak Holmes dengan yakin. "Biarlah namanya tetap tercantum."
Pak Kolonel membungkuk. "Senang sekali saya mendengar pendapat Anda, sir," katanya. "Kami menunggu Anda di rumah Straker yang malang setelah Anda kembali dari jalan-jalan, dan kita akan berangkat bersama-sama ke Tavistock."
Dia membalikkan badan bersama Pak Inspektur, sedangkan aku dan Holmes berjalan perlahan lahan melewati padang belantara. Matahari mulai terbenam di balik Kandang Capleton, membiaskan cahaya keemasan di dataran yang panjang dan menurun di depan kami, sedangkan pepohonan di kejauhan mulai tampak kecoklatan. Tapi keindahan pemandangan daerah itu sama sekali tak dinikmati oleh temanku. Dia sedang tenggelam dalam meditasi berpikirnya yang dalam.
"Enaknya begini saja, Watson," katanya pada akhirnya. "Untuk sementara kita lupakan dulu siapa pembunuh John Straker, dan kita memusatkan diri untuk mencari kuda yang hilang itu. Nah, seandainya dia terlepas selama atau setelah tragedi itu, ke mana dia akan pergi? Kuda adalah binatang yang suka berkumpul dengan sesamanya. Kalau dia terlepas sendirian, nalurinya akan mendorongnya untuk kembali ke King's Pyland atau menyeberang ke Capleton. Untuk apa dia mengembara di padang belantara yang luas ini? Dan kalau memang demikian halnya, dia pasti sudah terlihat saat ini. Dan untuk apa orang-orang gipsi menculik kuda itu? Mereka orang-orang yang tak mau mencari masalah karena mereka tak suka berurusan dengan polisi. Tak mungkin mereka berani menjual kuda seperti itu. Risikonya terlalu besar, dan tak menghasilkan uang terlalu banyak. Itu jelas sekali."
"Jadi, di mana kuda itu?"
"Seperti kubilang tadi, kalau tak ke King's Pyland, ya ke Capleton. Ternyata tak ada di King's Pyland, jadi pasti di Capleton. Kita akan anggap itu sebagai hipotesis sementara dan mari kita lihat perkembangannya. Padang bagian sini, sebagaimana dikatakan Pak Inspektur, sangat keras dan kering. Tapi yang ke arah Capleton cukup lembek, dan kau bisa lihat dari sini ada lubang yang panjang sekali di sebelah sana, yang pada hari Senin malam pasti dalam keadaan basah. Kalau pengandaian kita benar, maka kuda itu pasti melewati tempat itu, dan jejaknya pasti terlihat."
Kami mulai mempercepat langkah sambil berbicara demikian, dan beberapa menit kemudian kami tiba di lubang yang dimaksud. Atas permintaan Holmes, aku menuruni pinggiran lubang ke arah sebelah kanan, dan dia ke sebelah kiri. Belum sampai lima puluh langkah, aku mendengarnya berteriak dan melambaikan tangan kepadaku. Di tanah yang lunak di hadapannya, jelas sekali terlihat jejak kaki kuda yang cocok dengan cetakan sepatu kuda yang dikeluarkannya dari sakunya.
"Coba lihat, betapa berharganya imajinasi," kata Holmes. "Justru inilah yang tak dimiliki Gregory. Kita membayangkan apa yang mungkin telah terjadi, lalu bertindak atas dasar pengandaian itu untuk menguji kebenarannya. Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita."
Kami menyeberangi dasar lubang yang berawa-rawa dan kemudian melewati rerumputan yang kering dan keras sepanjang kira-kira setengah kilometer. Lalu jalanan menurun lagi, dan kami kembali melihat jejak-jejak kaki. Sepanjang tiga perempat kilometer berikutnya jejak itu menghilang, lalu terlihat lagi oleh Holmes ketika mendekati Capleton. Dia berdiri sambil menunjuk ke tanah dengan penuh kemenangan. Di samping jejak kaki kuda terdapat jejak kaki manusia.
"Pada mulanya, kuda itu sendirian," teriakku.
"Begitulah. Sendirian, pada mulanya. Hei, apa ini?"
Jejak ganda itu tiba-tiba berbalik dengan tajam dan kembali mengarah ke King's Pyland. Holmes bersiul, dan kami berdua lalu mengikuti jejak itu selanjutnya. Matanya tertuju pada alur jejak yang diikutinya, tapi aku sempat menengok ke samping sejenak, dan betapa terkejutnya aku karena jejak yang sama itu ternyata berbalik lagi.
"Satu nilai untukmu, Watson," kata Holmes setelah kutunjukkan penemuanku kepadanya. "Dengan penemuanmu itu berarti kita tak usah jauh-jauh berjalan, karena toh akan kembali lagi ke sini. Mari kita ikuti saja alur jejak yang berikutnya."
Kami melanjutkan perburuan kami. Dan tak lama kemudian jejak itu berakhir di jalanan beraspal yang menuju pintu masuk Kandang Capleton. Ketika kami mendekat ke sana, seorang petugas kuda berlari menemui kami.
"Kalian tak diizinkan berkeliaran di sekitar sini," katanya.
"Saya cuma mau tanya sesuatu," kata Holmes dengan santai, sementara ibu jari dan telunjuknya dimasukkannya ke saku jaketnya. "Apakah terlalu pagi untuk menemui atasanmu, Mr. Silas Brown, besok jam lima pagi?"
"Bila Anda diperkenan olehnya, sir, dia akan bersedia menemui Anda, karena dia biasanya bangun pagi-pagi. Tapi sekarang ini dia ada di tempat, sir, kalau Anda ingin menemuinya sekarang. Tidak, sir, terima kasih. Saya bisa dipecat kalau sampai ketahuan menyentuh uang yang Anda tawarkan. Nanti..."
Begitu Sherlock Holmes memasukkan kembali koin bernilai setengah crown yang tadi diambilnya dari saku jaketnya, seorang pria tua yang galak wajahnya muncul dari pintu masuk, sambil melambai-lambaikan pecut di tangannya.
"Ada apa ini, Dawson?" teriaknya. "Jangan berani-berani menyebar gosip! Kembali sana ke pekerjaanmu! Dan kau, apa yang kauinginkan?"
"Berbjcara dengan Anda selama sepuluh menit saja, Tuan yang baik hati," kata Holmes dengan amat manis.
"Aku tak punya waktu untuk berbicara dengan gelandangan. Kami tak mengizinkan orang asing masuk ke sini. Cepat pergi, atau kukeluarkan anjing untuk mengusir kalian."
Holmes lalu membisikkan sesuatu ke telinga pelatih kuda itu. Dia menjadi sangat terkejul bagai tersambar petir, dan wajahnya menjadi merah padam.
"Itu bohong!" teriaknya. "Keterlaluan bohongnya!"
"Baiklah. Mau dibicarakan di luar sini, di hadapan orang banyak, atau di kamar Anda?"
"Oh, silakan masuk saja kalau itu yang kauinginkan."
Holmes lersenyum. "Kau tunggu di sini sebentar, ya, Watson, tak lebih dari beberapa menit, kok," katanya. "Nah, Mr. Brown, mari."
Pembicaraan itu berlangsung selama dua puluh menit. Sinar kemerahan di langit telah berubah menjadi kelabu ketika kedua orang itu muncul kembali. Tak pernah sebelumnya aku melihat perubahan wajah yang sedemikian drastis dalam waktu hanya dua puluh menit. Wajah Silas Brown yang tadi merah padam kini berubah menjadi pucat pasi, alisnya berkeringat, dan tangannya gemetaran, sehingga pecut yang dibawanya bergoyang-goyang bagaikan ranting pohon yang ditiup angin kencang. Sikapnya yang garang dan memerintah lenyap seketika, dan dia berjalan di samping Holmes bagaikan seekor anjing yang patuh kepada tuntunan tuannya.
"Perintah Anda akan dijalankan. Semuanya," katanya.
"Jangan sampai terjadi kesalahan," kata Holmes sambil menoleh kepadanya. Mata pria di sampingnya itu mengejap-ngejap ketakutan ketika dilihatnya pandangan Holmes yang memancarkan ancaman.
"Oh, tidak, tak akan terjadi kesalahan. Akan segera dikirim. Perlu diubah dulu atau tidak?"
Holmes berpikir sejenak, lalu tergelak. 'Tidak," katanya, "Nanti saya akan kirim kabar. Awas, jangan main-main, atau..."
"Oh, percayalah kepada saya, percayalah kepada saya!"
"Anda harus merawatnya baik-baik seakan-akan dia milik Anda sendiri."
"Serahkan saja semuanya pada saya."
"Baik. Nah, Anda akan menerima kabar dari saya besok pagi." Dia melangkah, tidak mengacuhkan tangan gemetaran yang disodorkan kepadanya, dan kami lalu kembali ke King's Pyland.
"Tak pernah kulihat sebelumnya seseorang yang sok kuasa, tapi pengecut dan licik seperti Tuan Silas Brown ini," komentar Holmes dalam perjalanan kembali.
"Dia yang mengambil kuda itu, ya?"
"Dia tak mengakuinya pada mulanya. Tapi aku lalu menceritakan apa saja yang telah diperbuatnya pada pagi hari itu, sehingga dia pun yakin bahwa pada waktu itu aku memang berada di tempat kejadian dan menyaksikan semua perbuatannya. Kaulihat, kan, jejak kaki orang di tanah tadi sangat khas, yaitu depannya persegi, dan ternyata itu cocok dengan sepatunya. Lagi pula, tentu saja seorang bawahan tak akan berani berbuat seperti apa yang dilakukannya. Kujelaskan kepadanya, bagaimana ketika pagi-pagi sekali sebagaimana kebiasaannya, dia pergi ke luar, dan melihat seekor kuda sedang berkeliaran di padang. Dia lalu mendekatinya, dan alangkah terkejutnya dia mengenali bahwa kuda itu Silver Blaze, karena dahi kuda itu memang berwarna putih keperakan sebagaimana namanya. Dia segera melihat kesempatan baik, karena inilah satu-satunya kuda yang kemungkinan besar akan mengalahkan kuda piaraannya sendiri dalam pacuan mendatang. Lalu aku pun menjelaskan bahwa pada mulanya dia ingin mengembalikan Silver Blaze ke King's Pyland, tapi niat jahat membujuknya agar menyembunyikannya saja sampai pacuan berakhir. Lalu dia pun membawa kuda itu untuk disembunyikan di Capleton. Setelah menjelaskan semua ini, dia pun menyerah, tapi yang dipikirkannya cuma keselamatan dirinya saja."
"Tapi bukankah kandangnya sudah digeledah?"
"Oh, seorang ahli kuda seperti dia kan banyak akalnya."
"Tak takutkah kau meninggalkan kuda itu padanya? Bagaimana kalau dia melukainya?"
"Sobatku, dia akan memelihara kuda itu dengan sangat hati-hati. Dia tahu bahwa itulah satu-satunya harapan agar dia tak diperkarakan."
"Menurutku, Kolonel Ross pasti tak akan mengampuni perbuatannya itu."
"Masalahnya tak terlelak pada Kolonel Ross. Aku menjalankan metode-metodeku sendiri, dan aku memutuskan untuk tak akan banyak bicara nantinya. Itulah kelebihannya kalau kita bekerja secara tak resmi. Aku tak tahu apakah kau sadar akan hal itu, Watson, tapi sikap Pak Kolonel sendiri agak congkak. Aku perlu memberinya sedikit pelajaran. Jangan katakan apa-apa tentang kudanya itu, ya?"
"Pasti tidak, kalau kau tak mengizinkannya."
"Dan tentu saja soal kuda ini hanyalah sepele saja dibandingkan masalah siapa pembunuh John Straker."
"Dan kau akan melanjutkan penyelidikan?"
"Tidak, kita sebaiknya pulang ke London dengan kereta api, malam ini."
Aku sangat terkejut mendengar kata-katanya. Kami baru berada di Devonshire selama beberapa jam saja, kok, dia mau menghentikan penyelidikan yang telah dimulainya dengan amat cemerlang. Aku benar-benar tak mengerti sikapnya. Aku tak berhasil mengorek apa pun darinya sampai akhirnya kami tiba kembali di rumah pelatih kuda King's Pyland. Pak Kolonel dan Pak Inspektur sedang menunggu di ruang tamu.
"Kami akan kembali ke London dengan kereta api malam," kata Holmes. "Kami sudah cukup menikmati udara Dartmoor yang indah dan segar ini."
Mata Pak Inspektur terbelalak, dan bibir Pak Kolonel menyeringai.
"Jadi Anda angkat tangan soal siapa pembunuh Straker yang malang?" katanya.
Holmes mengangkat bahu. "Memang ada kesulitan dalam pelacakannya," katanya. "Tapi saya optimis kuda Anda akan siap bertanding pada hari Selasa depan, dan saya harap Anda mempersiapkan jokinya. Bolehkah saya minta foto Mr. John Straker?"
Pak Inspektur mengambil sehelai dari amplop yang ada di sakunya, lalu menyerahkannya pada Holmes.
"Pak Gregory yang terhormat, Anda tahu apa saja yang saya butuhkan. Kalau Anda tak keberatan, silakan tunggu di sini sebentar, saya akan menanyai pelayan wanita."
"Terus terang, saya agak kecewa dengan konsultan dari London ini," kata Kolonel Ross dengan tajam ketika temanku sudah meninggalkan ruangan. "Tak ada perkembangan apa-apa yang dihasilkannya."
"Paling tidak, dia menjamin bahwa kuda Anda akan bisa ikut lomba kataku.
"Apalah artinya jaminan?" kata Pak Kolonel sambil mengangkat bahu. "Saya lebih suka kalau kuda itu kembali pada saya."
Baru saja aku hendak mengatakan sesuatu untuk membela temanku, dia sudah memasuki ruangan lagi.
"Nah, Tuan-tuan," katanya, "saya sudah siap untuk kembali ke Tavistock."
Ketika kami berjalan menuju kereta, salah satu petugas kuda membukakan pintunya. Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul di benak Holmes. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, dan menyentuh lengan petugas kuda itu.
"Ada beberapa domba di halaman," katanya. "Siapa yang mengawasi domba-domba itu?"
"Saya, sir."
"Apakah ada hal-hal yang aneh akhir-akhir ini?"
"Well, sir, memang ada sedikit keanehan, tiga di antara domba-domba itu menjadi pincang, sir."
Aku melihat Holmes merasa sangat gembira mendengar hal itu, karena dia tergelak dan mengusap-usap kedua tangannya.
"Dugaan yang 'nekat', Watson, sangat 'nekat'," katanya sambil menggamit lenganku. "Gregory, saya menyarankan agar Anda memperhatikan gejala aneh yang terjadi di antara domba-domba itu. Yuk, jalan, Pak Kusir!"
Kolonel Ross masih bersikap agak meremehkan kemampuan temanku, tapi kulihat wajah Pak Inspektur berubah. Dia menjadi sangat tertarik pada apa yang baru dikatakan oleh temanku Sherlock Holmes.
"Menurut Anda, pentingkah hal itu?" tanyanya.
"Sangat penting."
"Adakah hal lain yang harus saya perhatikan?"
"Tentang keanehan anjing penjaga waktu itu."
"Anjing itu kan tak berbuat sesuatu yang aneh waktu itu."
"Justru di situlah letak keanehannya," sahut Holmes.
Empat hari kemudian, aku dan Holmes kembali bepergian dengan kereta api menuju Winchester, untuk menonton pacuan kuda yang memperebutkan Piala Wessex. Sebagaimana telah diatur, Kolonel Ross menjemput kami di luar stasiun, lalu kami langsung diantarnya menuju luar kota. Wajahnya murung, dan sikapnya sangat dingin.
"Sampai sekarang, saya belum melihat batang hidung kuda saya," katanya.
"Tentunya Anda akan mengenalinya kalau Anda melihatnya?" tanya Holmes.
Kemarahan Pak Kolonel tak terbendung lagi. "Saya sudah mengikuti pacuan-pacuan semacam ini selama dua puluh tahun, dan tak pernah ada orang yang mengajukan pertanyaan konyol seperti itu," katanya. "Anak kecil saja akan mengenali Silver Blaze, karena dahinya berwarna putih keperakan dan bagian luar kaki depannya belang-belang."
"Bagaimana dengan pasar taruhan?"
"Well, itulah yang membuat saya penasaran. Kemarin angkanya berkisar antara lima belas banding satu, tapi angka itu terus menurun, dan sekarang tinggal tiga banding satu."
"Hmm!" kata Holmes. "Jelas, ada orang yang mengendus telah terjadinya sesuatu."
Ketika kereta sampai di dekat tempat pacuan, aku menengok ke papan pengumuman. Bunyinya:
Pendaftaran untuk Kejuaraan Piala Wessex. 50 sovereign per kuda. Hadiah pertama untuk kuda yang berusia empat atau lima tahun: 1.000 sovereign. Hadiah kedua: 300 pound. Hadiah ketiga: 200 pound. Perlombaan jenis baru: jarak tiga per-empat kilometer, lima putaran.

  1. The Negro, milik Mr. Heath Newton. Topi merah, jaket coklat muda.
  2. Pugilist, milik Kolonel Wardlaw. Topi merah jambu, jaket biru dan hitam.
  3. Desborough, milik Lord Blackwater. Topi dan lengan jaket berwarna kuning.
  4. Silver Blaze, milik Kolonel Ross. Topi hitam, jaket merah.
  5. Iris, milik Duke of Balmoral. Bergaris-garis kuning dan hitam.
  6. Rasper, milik Lord Singleford. Topi ungu, lengan jaket hitam.

"Kami telah mencoret nama kuda kami yang lain, karena kami percaya pada omongan Anda," kata Pak Kolonel. "Lho, apa itu? Silver Blaze kok tercantum di daftar?"

"Lima banding empat untuk Silver Blaze!" teriak pembawa acara. "Lima banding empat untuk Silver Blaze! Lima belas banding lima untuk Desborough! Lima banding empat yang banyak dipilih!"

"Lihat daftarnya di atas itu," seruku. "Ada enam kuda yang berlomba."

"Enam? Jadi kuda milik saya ikut bertanding?" teriak Pak Kolonel dengan bingung. "Tapi saya belum melihatnya. Warna topi dan jaket joki saya juga belum terlihat lewat di landasan pacuan."

"Baru lima yang lewat. Yang berikut ini pastilah yang Anda maksud."

Setelah aku berkata demikian, seekor kuda pemburu yang perkasa meluncur dari pintu permulaan pertandingan, dan melaju melewati kami, jokinya mengenakan topi hitam dan jaket merah, warna kebanggaan Pak Kolonel.

"Itu bukan kuda saya," teriak Pak Kolonel. "Rambutnya tidak berwarna putih. Apa sebenarnya yang telah Anda lakukan, Mr. Holmes?"

"Well, well, coba lihat bagaimana larinya kuda itu," kata temanku dengan tenang, tak peduli dengan macam-macam pertanyaan dari Pak Kolonel. Selama beberapa menit dia asyik dengan teropongnya: "Hebat! Lompatan awal yang luar biasa!" serunya tiba-tiba. "Di sana, sedang membelok!"

Dari kereta, kami bisa melihat dengan jelas ketika kuda-kuda yang berlomba itu memasuki landasan pacu yang lurus. Keenam kuda itu begitu berdekatan satu sama lain, sehingga nampaknya mereka akan bisa diraup dengan mudah dengan menggunakan selembar karpet yang besar, tapi setelah melewati setengah jalan, kuda berjoki jaket kuning dari Kandang Capleton melaju mendahului lawan-lawannya. Dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi kuda Pak Kolonel berhasil mengejar ke depan, sehingga Silver Blaze-lah yang pertama mencapai garis akhir, dengan selisih hanya kira-kira enam langkah dengan Desborough di tempat kedua. Kuda Duke of Balmoral menyusul kemudian di tempat ketiga.

"Bagaimanapun, saya memenangkan pacuan ini," katanya dengan tercekat sambil mengusap kedua matanya. "Saya akui, saya tak tahu-menahu soal ini. Tidakkah sudah waktunya Anda menjelaskan misteri ini, Mr. Holmes?"

"Ya, Kolonel, semuanya akan segera dijelaskan kepada Anda. Mari kita menemui kuda juara itu. Nah, ini dia," lanjutnya sambil menghampiri tempat penimbangan. Hanya pemilik dan teman-teman dekat mereka yang boleh masuk ke situ.

"Anda hanya perlu menggosok muka dan kakinya dengan anggur, dan dia akan kembali seperti Silver Blaze yang semula."

"Anda membuat saya sesak napas!"

"Saya temukan dia berada di tangan seorang penipu, dan saya sengaja memasukkannya ke pacuan dengan penampilan barunya itu."

"Sir, Anda telah melakukan sesuatu yang ajaib. Kuda itu kelihatannya dalam keadaan baik dan sehat. Larinya kencang sekali. Saya harus mmia maaf, karena telah meragukan kemampuan Anda. Pelayanan Anda memuaskan sekali, karena nyatanya kuda saya bisa kembali. Saya akan sangat gembira kalau Anda bersedia pula melacak pembunuh John Straker."

"Saya sudah melakukan pelacakan," kata Holmes dengan suara lirih.

Aku dan Pak Kolonel menatapnya dengan terkejut. "Anda telah menemukannya! Kalau begitu, di mana sang pembunuh itu?"

"Ada di sini."

"Di sini! Di mana?"

"Dekat saya."

Wajah Pak Kolonel merah padam. "Saya memang berutang budi pada Anda, Mr. Holmes," katanya. "Tapi kata-kata Anda barusan benar-benar merupakan lelucon yang tak lucu, atau penghinaan besar."

Sherlock Holmes tergelak. "Saya jamin, tak pernah terlintas sedikit pun dalam benak saya bahwa Anda telah melakukan tindak kejahatan, Kolonel," katanya. "Pembunuhnya adalah yang sedang berdiri di belakang Anda."

Dia melompat ke samping, dan menaruh tangannya di leher kuda unggul yang berkilat itu.

"Kuda ini!" teriakku bersamaan dengan Pak Kolonel.

"Benar. Dan agar tak terlalu berat kesalahan yang dituduhkan kepadanya, kuda itu membunuhnya dalam upaya membela diri. John Straker itu benar-benar bawahan yang tak bisa dipercaya. Tapi, bel telah berbunyi, dan karena saya ingin memenangkan sedikit taruhan di perlombaan berikutnya, sebaiknya saya tunda dulu penjelasan yang panjang-lebar ini sampai ada waklu yang lebih cocok."

Malamnya, kami menumpang kereta api menuju London, dan sengaja memilih tempat di sudut. Perjalanan itu terasa pendek baik bagi Pak Kolonel maupun bagi diriku sendiri karena kami asyik mendengarkan penuturan temanku tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di kandang latihan Dartmoor pada Senin malam yang lalu, dan bagaimana caranya menyibakkan semua itu.

"Saya akui," katanya, "bahwa semua teori yang saya dasarkan pada laporan-laporan surat kabar ternyata salah semua. Sebetulnya ada beberapa indikasi yang bisa didapat, tapi tertutup oleh hal-hal lain sehingga tak terlihat kepentingannya. Waktu berangkat ke Devonshire, saya berkeyakinan bahwa Fitzroy Simpson memang pelakunya, walau bukti-bukti yang memberatkannya belum cukup.

"Ketika berada di dalam kereta menuju rumah Pak Pelatih, barulah saya menyadari pentingnya peranan kare daging yang menjadi menu makan malam petugas kuda. Kalian mungkin masih ingat bahwa waktu itu saya sedang melamun dan tetap tinggal di kereta walaupun kalian semua sudah turun. Waktu itu saya sedang berpikir keras, karena petunjuk itu hampir saja tak saya perhatikan."

"Harus saya akui bahwa sekarang pun saya masih belum memahami bagaimana kare daging itu dapat menolong kita memecahkan masalah ini," kata Pak Kolonel.

"Kare daging itu menjadi awal jalinan pertimbangan saya. Bubuk opium itu ada rasanya, lho. Tidak pahit memang, tapi masih dapat dirasakan. Kalau dicampurkan ke makanan lain, orang yang memakannya pasti curiga lalu berhenti makan. Kare tepat sekali dipakai untuk menyembunyikan rasa opium itu. Tak mungkin orang asing bernama Fitzroy Simpson ini bisa menentukan menu masakan di rumah Pak Pelatih. Dan kalau dikatakan telah terjadi kebetulan bahwa pada saat dia membubuhkan bubuk opium ke piring makan petugas kuda, ternyata menunya pas kare daging sehingga menyembunyikan rasa bubuk opium itu, sungguh tak masuk akal. Itulah sebabnya bukan Simpson pelakunya, sehingga perhatian kita lalu terpusat kepada suami istri Straker, pihak-pihak yang berkepentingan dengan pilihan menu di keluarga itu. Opium dibubuhkan pada piring yang dimaksudkan akan dikirim ke petugas kuda, karena orang lain yang juga makan menu yang sama ternyata tak terkena efek opium sama sekali. Di antara suami istri ini, manakah yang mungkin melakukannya tanpa sepengetahuan pelayan wanita?

"Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya sudah menyadari pentingnya peranan anjing penjaga, yang ternyata tak menyalak sedikit pun malam itu. Satu kesimpulan yang ternyata benar dapat menuntun kita ke langkah-langkah berikutnya. Insiden yang melibatkan Simpson menunjukkan bahwa ada seekor anjing yang menunggui kandang malam itu, dan toh, ketika seseorang memasuki kandang dan mengambil seekor kuda, dia tak menyalak dengan nyaring. Buktinya kedua petugas kuda lainnya yang sedang tidur di bagian atas kandang tak terbangun. Jelas bahwa yang masuk ke kandang adalah orang yang dikenal baik oleh sang anjing.

"Saya langsung merasa yakin, atau hampir yakin, bahwa John Straker-lah orangnya. Untuk apa? Tentu saja untuk suatu niat jahat, karena kalau tidak, untuk apa dia sampai membius petugas kudanya sendiri? Tapi saya belum tahu apa tepatnya yang dikehendakinya. Ada beberapa kasus serupa yang pernah saya tangani sebelumnya, di mana pelatih kuda meraup keuntungan besar melalui kaki tangannya dengan menjagokan kuda yang bukan dilatihnya, lalu mengupayakan kecurangan-kecurangan sedemikian rupa sehingga kuda yang dilatihnya tak memenangkan pacuan. Kadang-kadang dengan menyogok jokinya. Kadang-kadang dengan cara-cara lain yang lebih meyakinkan dan tak kentara sama sekali. Itukah yang terjadi dalam kasus ini? Saya berharap isi sakunya akan menunjukkan sesuatu.

"Dan, benarlah. Anda kan masih ingat pisau unik yang ditemukan di tangan korban, pisau yang secara logis tak mungkin dipakai orang sebagai senjata untuk melindungi dirinya. Sebagaimana yang dikatakan Dr. Watson, pisau itu biasanya dipakai untuk pembedahan yang halus di rumah sakit. Dan memang itulah yang akan dilakukan Straker malam itu. Dengan pengalaman Anda dalam pacuan kuda, Anda pasti tahu, Kolonel Ross, bahwa kalau urat paha kuda ditoreh sedikit, dan dikerjakan dengan hati-hati, pasti efeknya tak akan terlihat, Tapi kuda itu akan menjadi agak pincang, dan gerakan kakinya akan agak meregang atau akan terasa sedikit nyeri pada waktu dia berlari selama pertandingan berlangsung."

"Penjahat tengik! Bajingan!" teriak Pak Kolonel. "Jadi begitulah penjelasannya mengapa John Straker membawa kuda itu ke luar. Hewan kekar itu pasti akan berteriak gaduh dan membangunkan orang-orang yang sedang tidur, kalau ditoreh begitu. Jadi harus dilakukan di alam terbuka."

"Betapa butanya saya selama ini!" teriak Pak Kolonel. "Tentu saja, itulah sebabnya mengapa dia juga memerlukan lilin dan korek api."

"Jelas sekali. Tetapi, ketika saya meneliti barang-barangnya saya tidak hanya tahu bagaimana dia menjalankan kejahatannya, tapi juga apa motif tindakannya itu. Sebagai orang yang berpengalaman, Kolonel, Anda pasti tahu bahwa pria biasanya tak membawa-bawa kuitansi milik orang lain di sakunya. Barang-barang kita sendiri yang perlu dibawa saja sudah memenuhi saku. Saya langsung menyimpulkan bahwa Straker memiliki kehidupan ganda, dan punya rumah lain di samping rumahnya yang di dekat kandang itu. Kuitansi itu menunjukkan keterlibatan seorang wanita lain, yang suka memakai barang-barang yang mahal harganya. Walaupun Anda menggaji pegawai Anda dengan tinggi, tak mungkin mereka kuat membeli gaun-gaun seharga dua puluh guinea untuk istri mereka. Saya bertanya kepada Mrs. Straker tentang gaun-gaun yang tertera di kuitansi suaminya tanpa membuatnya curiga, dan jawaban yang saya dapat ialah bahwa dia tak memiliki gaun-gaun itu. Saya lalu mengecek ke alamat penjual gaun-gaun itu dengan membawa foto Straker, maka terbongkarlah kisah petualangan asmara pria bernama 'Darbyshire' ini.

"Sejak itu semuanya menjadi jelas. Straker menuntun kuda itu ke sebuah lubang supaya cahaya lilinnya tak terlihat oleh orang lain. Ketika Simpson melarikan diri, syalnya terjatuh tanpa sepengetahuannya. Straker memungut syal itu karena mungkin bisa dipergunakannya untuk membalut bekas torehan yang direncanakannya. Setibanya di lubang, dia menuju ke belakang kuda untuk menyalakan lilin, tapi binatang itu menjadi terkejut dengan adanya sinar yang tiba-tiba itu. Naluri binatangnya segera mengendus adanya rencana tindak kejahatan. Dia lalu berontak untuk lari dan sepatu bajanya tepat menyepak dahi Straker. Walaupun hujan lebat, Straker telah melepaskan jaketnya supaya tak mengganggunya dalam melaksanakan operasinya yang cukup halus. Ketika dia terjatuh oleh tendangan kuda itu, pisau operasinya menancap ke pahanya. Apakah penuturan saya cukup jelas?"

"Hebat!" seru Pak Kolonel. "Hebat! Sepertinya Anda berada di tempat kejadian dan menyaksikan semua ini!"

"Dugaan saya yang terakhir ini saya kira agak 'nekat'. Begini, Straker orang yang amat hati-hati. Menurut saya, sebelum melakukan operasinya pada Silver Blaze, dia pasti berlatih dulu. Binatang apa yang bisa dijadikannya sebagai kelinci percobaan? Mata saya tertumbuk pada domba-domba yang berkeliaran, dan saya sempat menanyakan sesuatu, yang anehnya, membuktikan kebenaran dugaan saya."

"Anda betul-betul menyingkap semuanya, Mr. Holmes."

"Ketika kembali ke London, saya mampir ke toko pakaian itu, yang pemiliknya mengenal Straker sebagai langganan yang baik dengan nama Darbyshire, yang mempunyai istri yang cantik jelita dan sangat suka mengenakan gaun yang mahal-mahal. Saya yakin wanita inilah yang telah membuatnya terlilit utang, sehingga dia merencanakan kecurangan ini."

"Semua sudah Anda jelaskan kecuali satu hal," seru Pak Kolonel. "Ke mana larinya kuda itu?"

"Ah, dia melarikan diri, dan terlihat oleh salah satu tetangga Anda yang lalu merawatnya dengan baik. Saya rasa, kita tak usah mempermasalahkan hal itu lagi. Kita sudah sampai di Perempatan Clapham dan sepuluh menit lagi tiba di Victoria. Kalau Anda tak keberatan untuk singgah dan mengisap cerutu sebentar di tempat kami, Kolonel, dengan senang hati akan saya ceritakan rincian-rincian lainnya yang pasti akan menarik perhatian Anda."